Kebingungan Mencari Solusi “Wajib” Nikah di KUA

Kebingungan Mencari Solusi “Wajib” Nikah di KUA

KUNINGAN – Kesepakatan para penghulu menyangkut ‘wajib’ nikah di kantor KUA, membingungkan para wakil rakyat. Seperti yang terlihat kemarin (11/12), sedikitnya tiga anggota dewan terlibat obrolan serius dalam membicarakan hal itu. Endingnya, mereka juga mengakui, jalan keluar dari persoalan tersebut dilematis. Rana Suparman SSos misalnya, calon ketua DPRD yang belum dilantik itu menegaskan, bahwa dirinya pronikah bedolan (nikah di luar KUA). Artinya, kesepakatan yang diambil para penghulu itu dinilai jelas sangat memberatkan masyarakat. Menurutnya, para penghulu tidak perlu kaku menolak masyarakat yang ingin menikah di luar KUA. “Memang benar proses administrasinya murah kalau menikah di KUA. Tapi justru biaya transportasinya malah tinggi. Masa, nanti yang akad nikahnya cuma 8 orang, sementara yang ingin menyaksikan banyak,” tandas Rana di hadapan anggota dewan lain seperti Nuzul Rachdy SE dan Momon C Sutresna. Apa pun alasannya, pernikahan yang dilakukan masyarakat Kuningan merupakan perwujudan antara menjalankan syariat Islam dan kultur. Secara adat istiadat, kata dia, di situ terdapat istilah tali paranti yang mesti dijaga. Dalam menjalankan upacara sakral tersebut masyarakat melakukan penghitungan kapan waktu yang cocok untuk menikah. “Masa, itung-itungan masyarakat nanti terhalang oleh kesepakatan penghulu. Pernikahan itu sakral. Sebagian besar masyarakat hanya ingin menikah sekali saja. Kalaupun ada yang menikah lebih dari dua kali, itu kan ada faktor-faktor lain seperti pasangannya meninggal atau ada faktor lain,” ucapnya. Karena sakral, maka sebagai pelayan publik, para penghulu harus dapat memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. Jika nanti seluruh pernikahan dilaksanakan di kantor KUA, tidak bisa dibayangkan bagaimana nanti penuhnya halaman parkir KUA. “Kultur di kita kan pernikahan yang sakral itu harus disaksikan oleh sanak famili. Semua berkumpul baik kerabat dekat maupun jauh. Kalau semuanya ke KUA, di samping membutuhkan ongkos transportasi yang tinggi, kantor KUA yang sempit juga tidak akan muat. Lantas di mana letak baiknya pelayanan kepada masyarakat?” ketus politisi PDIP itu. Akan lebih baik, kata Rana, jika nikah bedolan tetap dilangsungkan untuk masyarakat Kuningan sesuai dengan kulturnya. Tinggal bagaimana pemerintah pusat menganggarkan biaya operasional atau perjalanan dinas bagi para penghulu. Sebagai bagian dari pelayanan pada masyarakat, mestinya negara mau mengalokasikan dana untuk itu. “SPj-nya mesti ada, negara harus mengalokasikan dong. Tujuan dari pemerintahan kan untuk melayani masyarakat baik di dalam maupun di luar kantor KUA,” ucap Rana berpendapat. Pernyataan Rana ditepis rekan separtainya, Nuzul Rachdy SE. Meskipun bisa dialokasikan, namun bisa kesulitan jika SPj (surat pertanggungjawaban) tersebut di luar jam kerja. Sehingga Zul—sapaan akrabnya—menilai, dilematis dalam memecahkan persoalan tersebut. Adapun kesepakatan yang diambil para penghulu, menurutnya, sebuah bentuk protes terhadap KPK dan BPK atas munculnya kasus di Jatim. Maka dibutuhkan sebuah regulasi, terutama di daerah, dalam mengatur hal tersebut. Itu dimaksudkan agar pelayanan pada masyarakat tetap diberikan sebagaimana mestinya. “Saya juga enggak bisa bayangin nanti kalau semua keluarga yang menikah datang ke kantor KUA. Bisa dipastikan mereka tidak ada yang ngasih minum, saking banyaknya. Kantor KUA juga jadi penuh, halaman parkir tidak bisa menampung dan biaya pernikahan bakal membengkak,” ucap Zul. Meski dalam urusan SPj tidak sependapat dengan Rana, namun dalam urusan penolakan terhadap pernikahan di kantor KUA, Zul sependapat. Dia menegaskan, bahwa pernikahan merupakan prosesi sakral. Sehingga perlu dihadiri oleh seluruh keluarga calon pengantin. “Kalau hanya dihadiri 8 orang di antaranya calon pengantin, kedua orang tua dan dua saksi, maka pernikahan tersebut tidak akan sakral,” kata caleg incumbent dari dapil II tersebut. (ded)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: