Warga Protes “Wajib” Nikah di KUA

Warga Protes “Wajib” Nikah di KUA

KUNINGAN – Penghulu Kecamatan Jalaksana dan Cigandamekar sudah menerapkan aturan “wajib” nikah di kantor urusan agama (KUA) dan jam kerja. KUA di dua kecamatan tersebut menolak keinginan warga yang hendak menikah Januari mendatang di luar kantor dan jam kerja. Aturan tersebut menuai protes dari sejumlah warga. Salah satunya Wahyu. Warga Kecamatan Jalaksan ini mengungkapkan keluhannya kepada Radar. Karena saat saudaranya hendak mendaftarkan pernikahan ke KUA, yang secara kebetulan di luar KUA dan jam kerja, ditolak penghulu. Karena itu Wahyu menyatakan protes atas kebijakan yang dinilainya merugikan. “KUA tidak boleh gitu dong, seenaknya menolak pernikahan di hari libur,” ketus wahyu yang baru saja menerima penolakan dari KUA untuk menikahkan saudaranya di luar KUA. Dia mengatakan, jauh-jauh hari pihak keluarga sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari undangan, kesepakatan antar dua keluarga dalam menentukan hari baik dan berbagai persiapan lainnya. Namun ketika menginformasikan ke KUA setempat, harapan mereka kandas. “Masalahnya, kami sudah mencetak undangan, bersepakat antara dua keluarga menentukan hari baik dan mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari,” ucap Wahyu dengan nada kesal. Sementara, Kepala KUA Jalaksana Imam Mutawakkil MSi ketika dikonfirmasikan memahami dan memaklumi kemarahan warga. Namun, Imam mengaku, pihaknya dalam posisi dilematis. Ia meminta warga untuk bersabar, karena penolakan tersebut hanya bersifat sementara. “Kami minta warga untuk bersabar sambil menunggu keluarnya regulasi yang tegas dan komprehensif mengenai pencatatan nikah, termasuk soal siapa yang membiayai teknis pelaksanaan nikah di luar kantor, apakah negara ataukah masyarakat,” ungkapnya. Penolakan ini, menurut Imam, bukan kebijakan sendiri, melainkan kesepakatan para kepala KUA. Bahkan bukan hanya para kepala KUA se-Kuningan, tapi se-Jawa dan Madura. Kesepakatan tersebut dinyatakan pada Senin (9/12) lalu, di Cirebon, sekaligus deklarasi Asosiasi Penghulu Indonesia. Dilanjutkan, penolakan itu terpaksa dilakukan karena para penghulu tidak mau terjebak dalam kasus gratifikasi atau pungutan liar bila menerima uang dari masyarakat saat menikahkan di luar kantor atau di luar jam kerja. Sementara, pemerintah pun tidak mengalokasikan anggaran transportasi dan lembur untuk pelaksanaan tugas tersebut. Lebih jauh Imam menjelaskan, Peraturan Menteri Agama (PMA) No 11 2007 yang mengatur tentang pelayanan nikah di KUA. Pada pasal 21 ayat 1 disebutkan bahwa, pernikahan itu dilaksanakan di KUA. Tetapi pada ayat 2 berbunyi, berdasarkan permintaan calon pengantin dan persetujuan PPN pernikahan bisa dilaksanakan di luar KUA. “Nah, ayat 2 ini yang dilematis. Memberikan peluang untuk melaksanakan nikah di luar KUA, tetapi tidak menetapkan darimana biaya operasionalnya. Jadi untuk pernikahan mulai Januari 2014 sesuai kesepakatan kami sementara akan melaksanakan tugas mengacu pada Pasal 21 ayat 1 saja, yang tidak mengandung tafsir hukum lain,” tegas dia. Sampai keluar solusi yang jelas mengenai masalah ini, sambung Imam, para kepala KUA menahan hak untuk menyetujui pernikahan di luar KUA. Tapi ia mengingatkan bahwa, itu bukan aksi mogok. Ditandaskan, pihaknya tetap bekerja seperti biasa dan tetap melayani pernikahan masyarakat. Hanya saja, kali ini semua pernikahan dilaksanakan di KUA. Imam berharap, pemerintah dapat memerhatikan realitas yang terjadi di daerah dan sesegera mungkin mengeluarkan solusi yang jelas dan integral. Sebab, pernikahan bukan masalah yang sederhana dan tidak hanya tentang pelayanan antara KUA dengan 2 individu yang akan menikah, tetapi juga melibatkan dua keluarga besar. “Semoga regulasi solutif yang sedang digodok di tingkat pusat segera keluar, agar masyarakat mendapatkan kepastian layanan. Dan kami para penghulu juga memiliki kepastian hukum dalam pelayanannya, sehingga tidak dihantui kekhawatiran,” pungkasnya. (ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: