Cirebon Medan Para Peziarah (1)

Cirebon Medan Para Peziarah (1)

Kota Cirebon terletak pada 6°41′S 108°33′E Pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta. Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 37,54 km2 dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%). Orang-orang Cirebon banyak yang merantau, bekerja di Jakarta maupun kota-kota besar. Mereka menyebut perjalanan ke Cirebon sebagai pulang kampung. Sementara orang-orang bukan asli Cirebon, melakukan perjalanan ke Cirebon sebagai wisata. Cirebon menawarkan turis penggemar wisata kuliner, wisata budaya, dan wisata sejarah. Beruntunglah Anda jika punya kenalan yang menyebut Cirebon sebagai kampung halaman. Anda cukup tanyakan kepada teman Anda itu dari A sampai Z mengenai wisata di Cirebon. Kota Udang dan Kota Wali atau disebut juga sebagai Caruban Nagari (penanda gunung Ceremai) dan Grage (Negeri Gede dalam bahasa Jawa Cirebon berarti kerajaan yang luas). Sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak beberapa abad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa. Nama Cirebon berasal dari kata Caruban, dalam bahasa Sunda yang berarti campuran (karena budaya Cirebon merupakan campuran dari budaya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab) atau bisa juga berasal dari kata Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon yang artinya udang dalam Bahasa Sunda (karena udang merupakan salah satu hasil perikanan Kota Cirebon). Wilayah Kotamadya Cirebon Sebelah Utara dibatasi Sungai Kedung Pane, Sebelah Barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, Sebelah Selatan dibatasi Sungai Kalijaga, Sebelah Timur dibatasi Laut Jawa. Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl, sementara kemiringan lereng antara 0-40 % dimana 0-3 % merupakan daerah berkarateristik kota, 3-25 % daerah transmisi dan 25-40 % merupakan pinggiran. Kota ini dilalui oleh beberapa sungai di antaranya Sungai Kedung Pane, Sungai Sukalila, Sungai Kesunean, dan Sungai Kalijaga. Siang lepas zuhur, Sukadi, 55 tahun, khusyuk melafalkan kalimat La Ilaa ha Illa Allah di bangsal Pesambangan kompleks makam Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Suaranya mendengung, menggema di seluruh kompleks makam. Sudah lebih dari satu jam mereka membaca Tahlil, Yasin, dan Salawat Nabi di kompleks makam pada November 2013. Mereka percaya roh Sunan Gunung Jati yang dimakamkan di situ dapat membantu mendekatkan diri mereka dengan Tuhan, memberikan berkah, dan melapangkan jalan hidup. “Semoga mendapat berkah,” ucap pria asal Cirebon itu, singkat. Untuk mendapatkan karomah itu, Sukadi menaruh satu botol air Aqua di depan pintu Lawang Gedhe tempatnya berdoa. Ia percaya selama ritual doa berlangsung, air dalam botol itu akan mendapatkan limpahan energi spiritual, yang kalau diminum, Insya Allah akan bisa membantu menyembuhkan sakit saudaranya. Di Cirebon, banyak terdapat situs peziarahan Islam. Satu di antaranya adalah makam Sunan Gunung Jati. Kompleks makam seluas 5 hektare yang telah berusia lebih dari enam abad itu terdiri dari sembilan tingkat pintu utama, yakni pintu Lawang Gapura di tingkatan pertama, pintu Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem, dan Lawang Teratai di puncak kesembilan. Wisatawan hanya diizinkan berkunjung sampai bangsal Pesambangan, di depan pintu Lawang Gedhe, di tingkatan pintu keempat. Sedangkan pintu kelima sampai kesembilan terkunci rapat, hanya sesekali dibuka khusus bagi anggota keluarga Kerajaan Cirebon, atau orang yang mendapat izin khusus dari Keraton Kasepuhan Cirebon, atau pada momen-momen tertentu seperti pada malam Jumat Kliwon, Maulud Nabi, Gerebeg Idul Fitri, dan Gerebeg Idul Adha. Yang menarik, selain warga muslim, banyak juga warga Cina yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di makam mereka berdoa, membakar hio, dan bersedekah uang kepada para pengemis di sekitar lokasi. “Salah satu istri Sunan Gunung Jati, bernama Ong Tien Nio, adalah putri kaisar Yung Lo dari Cina. Jadi, kehadiran warga Cina ke sini untuk menziarahi leluhur mereka juga,” kata Hasan, 70 tahun, bekel sepuh atau lurah juru kunci pemakaman Sunan Gunung Jati. Para peziarah pribumi berdoa di depan pintu Lawang Gedhe, sementara peziarah Cina berdoa dan membakar dupa di bilik depan pintu Lawang Merdhu. Tur ke Cirebon memang identik dengan wisata menziarahi situs-situs peninggalan Sunan Gunung Jati. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya besarnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005), mengisahkan Cirebon muncul dalam arus utama sejarah Nusantara baru sejak masuknya Islam yang dibawa pedagang pribumi. Di masa kejayaan Hindu, Cirebon kurang penting. Cirebon masuk peta sejarah, tak lepas dari kisah dan peranan Sunan Gunung Jati. Jejak-jejak wali penyebar Islam itulah yang kini menjadi tujuan ziarah ribuan wisatawan. Di antaranya empat bangunan keraton di Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Keprabon, yang semuanya keturunan Sunan Gunung Jati. Sepeninggal Sunan Gunung Jati, pada 1677, Kesultanan Cirebon pecah menjadi tiga pemangku adat, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan, yang masing-masing membawahi wilayah sendiri-sendiri, yakni Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Perguron Keprabon. Belakangan, Keraton Kanoman pecah dan memunculkan keraton baru, yakni Kacirebonan. (wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: