Kesepakatan KUA Lecehkan Kemenag
KUNINGAN – Kesepakatan para penghulu yang mewajibkan calon pengantin menikah di kantor KUA, terus menuai reaksi. Bahkan kesepakatan tersebut dinilai bisa memancing reaksi masyarakat. Hal itu ditegaskan dua tokoh masyarakat wilayah Kecamatan Jalaksana, KH Moch Nasrudin Sa’dillah dari Desa Manis Lor dan Jatim dari Desa Sembawa. Saat berkunjung ke kantor Radar tadi malam (16/12), KH Moch Nasrudin Sa’dillah mengatakan, kesepakatan yang dibuat para penghulu bukan kesepakatan struktural. Mestinya kesepakatan ataupun keputusan tersebut keluar dari kepala kemenag kabupaten. Tak heran jika pihaknya beranggapan, kesepakatan yang dibuat itu merupakan tindakan pelecehan terhadap lembaga kemenag. “Mereka (para penghulu, red) mengacu pada PMA No 11 tahun 2007 pasal 21 ayat 1. Sedangkan pada ayat 2 kan boleh melaksanakan nikah di luar KUA asal sepersetujuan catin (calon pengantin) dan PPN. Kami masyarakat bisa mengacu pada ayat 2,” tandasnya diamini Jatim. Meskipun tujuannya untuk menghindari gratifikasi, namun menurutnya, cara itu bukan satu-satunya. Masih banyak cara yang bisa dilakukan agar gratifikasi dapat dihindari sekaligus pelayanan pada masyarakat tetap bisa diberikan. Pihak pusat pun, kini tengah melakukan penggodokan dalam upaya mencarikan solusi. Jika para penghulu atau para kepala KUA tetap ngotot atas kesepakatannya, maka dapat menimbulkan reaksi. Nanti bisa dilihat, Januari 2014 dipastikan masih ada masyarakat yang menikahkan di luar kantor KUA. Belum lagi anak seorang pejabat yang banyak uang, dirinya merasa ragu jika KUA akan menolak permintaan untuk menikah di luar KUA. Kesepakatan yang dibangun nanti diprediksi kuat bakal tebang pilih dalam penerapannya. “Masyarakat juga, terutama kalangan intelektual di desa, dipastikan akan melancarkan aksi silaturahmi ke kepala kemenag. Karena memang jalur strukturalnya adalah kemenag, bukan kepala KUA. Kepala kemenag lah yang mestinya bertanggung jawab,” tegasnya. Sebagai solusi sementara, Nasrudin dan Jatim yang kebetulan juga menjadi P3N di desanya masing-masing, menawarkan beberapa opsi. Opsi pertama, KUA mesti membolehkan masyarakat untuk mengadakan prosesi nikah di luar KUA mengacu pada ayat 2. Tapi petugas tidak boleh menerima pemberian dari catin. “Ini kan masih transisi. Ikhlaskan saja tanpa menerima apa pun, toh mereka masih mendapatkan gaji dengan menyandang status PNS. Ada tambahan pengeluaran sedikit mah sifatnya sementara sambil menunggu regulasi yang pasti,” pendapatnya. Opsi selanjutnya, kemenag ataupun KUA bisa memberikan mandat kepada P3N di desa untuk menghadiri dan melakukan pencatatan. Menurutnya itu bisa dilakukan, karena bersifat sementara. Sehingga para penghulu pun tidak akan mengeluarkan kocek untuk transportasi mereka di luar jam dan hari kerja. Sebetulnya, kata Nasrudin dan Jatim, selama ini KUA tidak melakukan pungutan liar, melainkan penerimaan liar. Sebab yang melakukan pungutan liar itu adalah P3N. Sedangkan penghulu hanya menerima dari P3N. Namun patut dicamkan, kata keduanya, P3N melakukan pungutan karena diliarkan oleh pihak berwenang. “Coba saja pikirkan, P3N itu memegang SK pengangkatan melalui proses testing segala. Tapi sejak diangkat jadi P3N tidak ada upah sama sekali. Apa lagi istilahnya kalau bukan diliarkan?” ketus Nasrudin. Jika ketentuan upah untuk P3N tidak diatur, maka gratifikasi bakal tetap ada. Ia mengingatkan, ketika mendapatkan SK, maka P3N merupakan pegawai. Mestinya ada aturan berkenaan dengan upah, bukan malah meliarkan. Tanpa menutupi apa yang telah dilakukan selama ini, P3N di wilayah Jalaksana memungut biaya senilai Rp400 ribu. Uang tersebut dialokasikan untuk KUA, para saksi, ke pemerintah desa, dan akomodasi P3N ke sana ke mari. “Perlu diketahui pula, P3N itu tugasnya tidak hanya ngurus nikah. Tapi di dalamnya melakukan pembinaan umat, sosial keagamaan, kematian dan tugas kemasyarakatan lainnya. Dan kami tidak terikat jam dan hari kerja, kapan pun harus siap,” ungkapnya. Sesuai dengan moto Menteri Agama, yakni Ikhlas Beramal, mestinya diawali oleh para pegawainya yang berstatus PNS. Mereka mendapatkan gaji rutin, tidak seperti P3N yang ber SK, namun tak berupah. Jadi, solusi sementara yang ditawarkan olehnya diharapkan menjadi bahan pemikiran para inohong kemenag. “Intinya, niat untuk menghindari gratifikasi malah menimbulkan aksi. Saya kira, kesepakatan penghulu itu akan menambah masalah. Menurut kami tidak usah bersikap seperti itu, terlebih itu bukan keputusan atasannya, yakni kepala kemenag,” pungkasnya. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: