PDAU Dinilai Bebankan Daerah
KUNINGAN – Keberadaan PDAU (Perusahaan Daerah Aneka Usaha) saat ini terus menuai kritik dari masyarakat. Bahkan akademisi Uniku, Edi Nugraha SH MSi, secara tegas meminta PDAU dibubarkan. Aktivis Jaringan Kota Kuda Latif Mukhtar menilai, keberadaan PDAU hanya membebankan daerah. Untuk itu menurutnya, pemda dan penegak hukum harus segara melakukan peninjauan ulang terhadap keberadaan PDAU. Latif mengatakan, uang miliaran bukan angka sedikit. Jika dibelikan bebek, maka sejuta lebih warga Kuningan akan kebagian. Untuk itu penyertaan modal yang digelontorkan pemerintah kepada BUMD tersebut mesti jelas peruntukannya. “Ada orang yang lebih ngerti bagaimana sistem pengelolaan keuangan sebuah perusahaan. Tapi logika sederhana orang-orang seperti saya, kalau hak tunjangan karyawan saja belum dibayar, kemudian dana sharing Desa Jagara juga demikian, berarti ada apa gerangan? Kan belum ada beban PAD selama ini,” kata dia, kemarin (1/1). Masalah tersebut, menurut mantan aktivis mahasiswa Cirebon ini, tidak boleh dianggap angin lalu. Mesti ada tindak lanjut jika pemda tidak mau dituding terlibat di dalamnya. Meskipun pada akhirnya PDAU dibubarkan, persoalan keuangan tidak boleh dianggap selesai begitu saja. “Misal pemda menghendaki PDAU dibubarkan, ya masalah kecurigaan mah jangan dianggap selesai dong, enak saja uang miliaran nanti tidak jelas pertanggungjawabannya,” ketus dia. Secara blak-blakkan, Latif menilai, keberadaan PDAU tidak memberikan maslahat bagi masyarakat. Justru menurutnya, masih netek-nya perusahaan daerah tersebut ke APBD, artinya keberadaan PDAU membebankan daerah. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi pemerintah selaku owner untuk membubarkan. “Saya tuh merasa aneh ke pemda, kalau uang miliaran disedot PDAU tidak dipersoalkan, malah dianggap wajar. Tapi kalau untuk rumah tidak layak huni atau rumah yang belum pasang listrik, dana yang dialokasikan cuma alakadarnya,” ungkapnya. Banyak orang yang menganggap pimpinan daerah saat ini memiliki ketegasan dan keberanian. Anggapan tersebut, menurut Latif, harus dibuktikan dalam menyelesaikan persoalan PDAU. Gonjang-ganjing PDAU, imbuh dia, bisa dimasukkan kepada program 100 hari pertama. “Pegawai PDAU sekarang konon sebanyak 60 orang. Apakah benar puluhan karyawan tersebut masuk tanpa titipan? Kemudian, apakah itu tidak kebanyakan untuk ukuran perusahaan baru? Apakah dibutuhkan pula dua jabatan strategis dirut dan direktur?” kata Latif dengan nada tanya. Ia lebih sepakat jika PDAU dibubarkan. Perda atau perbup yang mengaturnya pun harus diubah, sebelum dibuka pendaftaran dirut dan direktur baru. Karena secara aturan, obyek wisata yang berada di lahan TNGC tidak bisa dikelola disparbud, maka perlu dibentuk perusahaan baru, yakni PD Wisata. “Percuma PD Aneka Usaha juga kalau yang dikelola hanya wisata. Mendingan sekalian saja PD Wisata. Nah, nanti bisa dilakukan penyeleksian direktur PD Wisatanya tanpa jabatan dirut segala. 60 karyawan yang ada, harus diseleksi kembali siapa saja yang betul-betul kompeten. Saya kira 10-20 orang juga cukup,” ucapnya. Seiring dengan itu, audit terhadap PDAU harus dilakukan. Sebab hasilnya nanti dapat dijadikan dasar bagi pembubaran PDAU sekaligus pembentukan PD baru yakni PD Wisata. “Mumpung tahun baru, pimpinan daerah yang baru dituntut untuk melahirkan kebijakan baru,” pungkasnya. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: