Oleh-oleh dari London untuk Hemat Investasi
SEMUA penumpang pesawat mengeluh: bukan main lamanya antre terbang di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Teman saya harus berada di dalam pesawat lebih satu jam hanya untuk mendapat giliran take off. Saya sendiri mengalami hal yang sama. Terbang ke Lampung hanya 45 menit, tapi antre terbangnya lebih lama dari itu. Sehari-harinya pun SHIA (Soekarno-Hatta International Airport) sudah padat. Di hari-hari sekitar Natal dan tahun baru lebih parah. Ini karena adanya penerbangan ekstra. Bayangkan, selama sepuluh hari ini, tiap hari ada 12 penerbangan ekstra. Betapa berimpitannya jadwal pesawat. Ke depan sistem penerbangan ekstra harus diubah. Bukan diadakan penambahan jadwal, tapi perusahaan penerbangan diharuskan menggunakan pesawat yang lebih besar. Dengan penambahan penerbangan, jadwal pesawat benar-benar kacau balau. Penumpang sangat dirugikan. Demikian juga perusahaan penerbangan. Reputasi Indonesia juga tercoreng. Mumpung Lebaran masih jauh, sistem penerbangan ekstra ini bisa diatur lebih dini. Dunia penerbangan yang mestinya lebih modern daripada kereta api atau penyeberangan feri justru kalah jauh. Sudah dua tahun ini pengangkutan Lebaran kereta api dan feri sangat memuaskan. Untuk bandara yang sudah padat, kelihatannya sistem penerbangan ekstra sudah tidak cocok lagi. Lebih baik menggunakan jadwal yang sama, tapi dengan memakai pesawat yang lebih besar. Kalau kita putuskan sekarang, perusahaan penerbangan juga masih punya waktu. Mereka harus menyiapkan diri untuk mengatur pesawat-pesawat besar mengisi jadwal domestik yang gemuk di Hari Lebaran. Untuk saat ini, jangankan menambah penerbangan, jadwal yang ada pun harus dikurangi. Untuk apa Jakarta-Surabaya harus 42 kali. Lebih baik 35 kali, tapi tepat waktunya lebih terjamin. Demikian juga Jakarta-Medan. Dan yang lain-lain. Kalau memang jumlah penumpang terlalu banyak, kita dorong perusahaan penerbangan menggunakan pesawat yang lebih besar. Seperti Singapore Airlines, untuk Jakarta-Singapura yang hanya berjarak 1,5 jam menggunakan pesawat besar Boeing 777. Langkah untuk mengurangi jadwal di SHIA sudah disiapkan: memindahkan sebagian penerbangan ke Bandara Halim Perdanakusuma. Belakangan ini rapat-rapat koordinasi antara TNI-AU sebagai pemilik bandara, Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura II, dan Perum Airnav terus dilakukan. Putusan sudah diambil. Setiap hari sekitar 60 penerbangan bisa dipindahkan ke Halim. Jumat lalu giliran Angkasa Pura II yang melakukan rapat koordinasi dengan perusahaan-perusahaan penerbangan. Untuk mengecek kesiapan mereka. Ternyata, mereka belum siap untuk merealisasikannya Januari ini. Mereka minta pemindahan itu dilakukan akhir Februari. Kecuali Citilink. Hanya anak perusahaan Garuda Indonesia ini yang siap memindahkan sebagian jadwalnya ke Halim 10 Januari nanti. \"Baik juga Citilink memulai dulu sekalian untuk uji coba,\" ujar Dirut Angkasa Pura II Tri Sunoko. Menurut Tri Sunoko, pembenahan ruang tunggu dan fasilitas lainnya sudah selesai. Ruang tunggunya cukup untuk tiga penerbangan setiap jam. Pas dengan izin yang diberikan pihak TNI-AU untuk pemanfaatan Halim yang tidak mengganggu kesibukan TNI-AU di situ. Perusahaan penerbangan di luar Citilink minta waktu sampai akhir Februari karena harus memindahkan sebagian kantor masing-masing ke Halim. Bagaimana masa depan SHIA sendiri? Selama ini berkembang pemikiran untuk membangun landasan nomor 3. Tapi, kendalanya luar biasa. Terutama karena harus membebaskan tanah 800 hektare. Tanah itu sekarang sudah berupa kampung. Lokasi itu meliputi 13 desa di tiga kecamatan. Bisakah membebaskannya dengan cepat? Dari pengalaman selama ini, saya realistis saja: sulit. Dan lama. Dan mahal. Bisa-bisa lima tahun ke depan pun belum terbebaskan semua. Itu pun memerlukan dana pembelian tanah yang mencapai Rp12 triliun. Total biaya bisa mencapai Rp40 triliun. Maka, saya memuji langkah Tri Sunoko mengirim staf inti belajar manajemen ke bandara besar. Mereka pergi ke London. Belajar di Bandara Heathrow. Itulah bandara nomor tiga tersibuk di dunia. SHIA sendiri tersibuk nomor sepuluh di dunia. Bandara Heathrow ini ternyata juga hanya memiliki dua landasan. Sama dengan SHIA. Tapi bisa menampung kesibukan 74 juta penumpang per tahun. Lebih banyak daripada SHIA yang menuju 60 juta penumpang. Hasil belajar ke London ini sangat baik: dengan hanya dua landasan, Bandara Heathrow ternyata bisa melayani seratus pergerakan pesawat setiap jam. Kita di SHIA dengan dua landasan baru bisa melayani 60 pergerakan setiap jam. Bahkan dua tahun lalu hanya bisa melayani 54 pergerakan. Dua tahun terakhir ini, dengan perbaikan-perbaikan manajemen dan sistem, bisa meningkat enam pergerakan. Belajar dari London tersebut, kita juga akan bisa mencapai 74 pergerakan Juni tahun depan. Dengan investasi sekitar Rp2 triliun di Angkasa Pura II dan Rp1 triliun di Perum Airnav. Ini akan lebih rasional daripada membangun landasan nomor 3 yang memerlukan dana di atas Rp30 triliun, itu pun kalau bisa melakukan pembebasan lahan. Cara mirip ini juga pernah dilakukan RJ Lino, Dirut Pelindo II, di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Waktu itu, dua tahun lalu, Teluk Bayur tidak mampu lagi melayani kapal yang datang. Kapal harus antre tiga minggu untuk bisa merapat. Semua pihak melihat harus ada pembangunan pelabuhan baru. Investasinya Rp5 triliun. Pemda sudah sanggup ikut membantu dana. Tapi, Lino memilih melakukan perbaikan manajemen dan modernisasi peralatan pelabuhan. Biayanya hanya Rp0,8 triliun. Hasilnya ibarat bumi dan langit. Kini kapal yang datang ke Teluk Bayur tidak perlu lagi ngantre! Pola inilah yang sebaiknya dilakukan di SHIA. Dengan mempercanggih manajemen dan peralatan, bisa menghemat uang puluhan triliun. (*) Oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: