MUDIK Itu Ternyata Warisan Hikayat Kuno, Begini Penjelasannya

MUDIK Itu Ternyata Warisan Hikayat Kuno, Begini Penjelasannya

Mudik, sebuah hikayat kuno tentang perjalanan pulang ke kampung halaman. -ADE GUSTIANA-radarcirebon.com

RADARCIREBON.COM - Mengucapkan kata mudik itu sudah biasa di lisan orang Indonesia. Tapi tahukah Anda jika sesunguhnya mudik itu merupakan warisan masa lalu nenek moyang kita.

Berita soal mudik memang sedang viral dalam beberapa hari terakhir. Berita itu akan terus ramai, sampai masa Lebaran tiba. 

Seperti yang telah diberitakan, total jumlah potensi pergerakan mudik Lebaran 2023 akan mencapai 123,8 juta orang.  Ini jumlah yang luar biasa besar. Itu artinya nyaris separuh warga negara Indonesia melakukan ritual mudik.

Begitu juga jumlah pergerakan pemudik tahun ini meningkat pesat. Hal itu bila dibandingkan dengan tahun 2022 yang hanya tembus sebanyak 85 juta orang.

BACA JUGA:Mengapa Yana Mulyana dan Sunjaya, Ugal-Ugalan Korupsi? Ini Analisa Penyebabnya

Mengapa mudik? Dalam tafsir budaya kontemporer mudik itu singkatan dari  Bahasa Jawa ‘mulih dilik'. Dua kata itu memiliki arti pulang sebentar. 

Pulang sebentar alias mudik itu merupakan kesadaran yang dikonstruksi sebatas nostalgia saja. Yakni pengalaman subyektif atas dasar sentimentalitas pada masa lalu.  

Sedangkan menurut tafsir antropologi, fenomena mudik tak lebih sebagai kelanjutan proses dari hikayat kuno. Hikayat apa itu? Ya perpindahan manusia. 

Jika pada awalnya urbanisasi yakni migrasi manusia dari desa ke kota, mudik dimaknai sebagai ruralisasi sebagai kebalikannya. Mudik itu justru terjadinya perpindahan manusia dari kota ke pedesaan. Walau hanya sebentar.

BACA JUGA:Lalu Lintas Mudik di Tol Cipali, Sampai Jam 2 Siang Sudah 39 Ribu Kendaraan Melintas

Itu sebabnya mudik juga menjadi kesemestian kemasan sosial yang cenderung dicirikan perubahan menemukan keseimbangan alam.

Dari perkotaan yang kultural, yang dibangun dengan nilai nilai profan, material dan individualistik ke suasana pedesaan yang masih natural. Bahkan sarat dengan nilai-nilai sakral,  non-material dan bersandar pada  kolektifitas.

Sekalipun perubahan dari kedua perbedaan itu tidak selalu absolut, secara hermeneutika mudik itu tak lebih sebagai proses mengembalikan kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian. 

Sekaligus menjadi mekanisme menemukan kembali keaslian diri dari keterasingan dan kebermaknaan hidup setelah terjebak kesadaran rasionalitas dan anonimitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: