Untungkan Semua Partai
JAKARTA - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin menyatakan, masih memungkinkan pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) dilakukan serentak. Namun, penyelenggaraannya tidak harus dilakukan pada 9 April. \"Karena ada sejumlah hal yang disesuaikan baik regulasi, sosialisasi kepada publik, dan partai politik harus menyusun strategi maka pemilu serentak tidak harus dilakukan 9 April,\" kata Said, Rabu (22/1). Ia menyatakan, penyelenggaraan pileg dan pilpres secara serentak tidak akan menguntungkan salah satu partai. Sebaliknya, penyelenggaran pemilu serentak ini memberikan keuntungan bagi semua partai. \"Partai politik yang peluangnya kecil untuk ikut dalam pilpres, dia jadi bisa mengajukan calon,\" ucapnya. Said menambahkan, jika pemilu diadakan serentak bakal meningkatkan partisipasi rakyat untuk memilih karena rakyat tidak perlu bolak-balik ke tempat pemungutan suara (TPS). Selain itu, masyarakat memiliki banyak pilihan capres. \"Rakyat menjadi bisa memilih capres yang belum tentu diusulkan partai besar. Karena pilihan beragam rakyat akan lebih antusias,\" katanya. Namun, Said menyatakan, penyelenggaraan pileg dan pilpres serentak akan berpengaruh terhadap anggaran sosialisasi pemilu yang rencananya diadakan 9 April mendatang. \"Anggaran sosialisasi Pemilu 9 April menjadi sia-sia, uang itu kadung keluar padahal harus dilakukan sosialisasi ulang,\" ucapnya. Di sisi lain, kata Said, jika pileg dan pilpres tidak dilakukan serentak juga memberikan kerugian. Pertama, sebuah partai dapat mendukung calon yang tidak sesuai ideologi. \"Misalnya partai Islam, karena tidak dapat mengajukan calon presiden jadi mendukung calon dari partai nasionalis,\" ujarnya. Kerugian berikutnya, menurut Said, terjadi politik dagang sapi yaitu, sebuah partai mendukung partai lain dengan imbalan mendapat posisi tertentu. Misalnya saja, di dalam pemerintahan seperti menduduki jabatan menteri. Terpisah, anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari mengatakan, jika judicial review Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra diterima Mahkamah Konstitusi (MK), maka implikasinya akan besar bagi MK sendiri. \"Kalau diterima (permohonannya), implikasinya MK rusak sendiri dong, wong kemarin (tahun 2008) dia nolak (gugatan JC UU Pilpres),\" kata Eva di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (22/1). Apalagi, kata Eva, MK belum membuat putusan atas gugatan yang sama yang diajukan lebih dulu oleh Effendi Gozali dkk. Sehingga akan aneh bila kemudian MK menolak kelompok civil society dan mengabulkan gugatan Yusril. \"Ini akan merusak reputasi MK sendiri, dan itu dampaknya kepercayaan kita pada MK malah ruwet. Jadi, MK harus menjaga wibawa, menjaga kredibilitasnya sendiri,\" kata Eva. Selain itu, tambahnya, Hamdan Zoelva punya conflict of interest dalam menangani JC UU Pilpres karena dia pernah menjadi pengacaranya Effendy Gozali dkk. Sehingga menjadi wajar mantan Anggota DPR dari PBB itu tidak mau memegang perkara tersebut. \"Karena ada potensi conflict of interest, walaupun Pak Hamdan sendiri juga terbebani harus menunjukkan diri beliau independen, sudah tidak terlibat dengan PBB (Partai bentukan Yusril),\" jelasnya. Karena itu pihaknya optimis Ketua MK Hamdan Zoelva bisa membuat putusan yang objektif. \"Tapi kita optimis, mari kita hormati hakim MK, masa Pak Hamdan mau merusak dirinya sendiri, gak yakin saya,\" tandasnya. Seperti diketahui, mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Dalam gugatannya, Yusril meminta Pemilu Legislatif dan Pilpres dilaksanakan serentak. Selain itu, ia juga meminta ambang batas atau presidential threshold dihapuskan. (fat/gil/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: