Rumah Janda Nyaris Roboh

Rumah Janda Nyaris Roboh

KUNINGAN - Hidup dalam balutan kemiskinan dan tinggal di gubuk yang nyaris roboh, siapa pun tentu tidak akan ada yang mau. Tapi nasib pahit itu harus tetap dijalani Ny Endang Parlinah bersama putri semata wayangnya, Fitri Rizki Damayanti. Bertahun-tahun wanita yang bekerja serabutan itu tinggal di sebuah gubuk di tengah sawah RT 30/11 Lingkungan Manis, Kelurahan/Kecamatan Cigugur. Bahkan anaknya, Fitri terpaksa drop out dari MTs lantaran Endang tak punya biaya. Kendati Fitri ingin kembali menuntut ilmu di sekolah, namun keinginan itu terpaksa ditahan lantaran tidak ada biaya. “Anak saya terpaksa keluar sekolah karena saya tidak punya biaya. Dia keluar beberapa waktu lalu setelah kakinya digigit ular. Untuk makan sehari-hari, saya bekerja serabutan di rumah tetangga. Upah dari kerja itu saya gunakan membeli makanan jadi. Kalau makanan mentah harus di masak, sedangkan saya tidak punya kompor. Meski upah yang saya terima tidak terlalu besar yang penting buat makan untuk menyambung hidup,” papar Ny Endang dengan nada parau. Kondisi gubuk Endang sendiri sangat memprihatinkan. Gentingnya sudah banyak berlubang, kayunya tampak keropos, begitu juga dindingnya yang bagian atasnya terbuat dari bilik terlihat sudah lapuk di makan usia. Jika hujan deras turun, Endang dan anaknya memilih mengungsi ke masjid lantaran takut gubuknya ambruk. “Di musim hujan seperti sekarang, saya dan Fitri lebih banyak tidur di masjid karena takut atap rumah yang sudah lapuk ambruk. Entahlah kalau rumah saya roboh, saya enggak tahu mau tinggal di mana lagi,” tuturnya kelu. Dari pantauan Radar, rumah Endang jauh dikatakan layak huni. Bangunan yang lebih mirip dengan gubuk itu hanya memiliki satu ruangan. Sebuah sekat dari kain menjadi pembatas antara ruang tengah dengan kamar mandi. Tak ada sekat untuk kamar-kamar. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa perangkat tidur seperti kasur dan bantal. Tak ada barang berharga seperti kompor, televisi, kursi maupun barang lainnya. Untuk penerangan di malam hari, Endang menyambung listrik dari tetangganya. Lantai rumah Endang separuh sudah diplester dan separuhnya masih tanah. Ironisnya, tak jauh dari rumah Endang, terdapat kompleks perumahan dan hunian pribadi pejabat pemkab dan anggota dewan. Endang pun sudah berkali-kali mengajukan permohonan bantuan rehab kepada pejabat kelurahan dan Kecamatan Cigugur. Sayangnya, permohonan itu tak pernah direspons pihak berwenang. “Saya pernah mengajukan permohonan bantuan pembangunan rumah tidak layak huni ke kantor kecamatan tapi jawaban Pak Camat katanya lagi sibuk mempersiapkan pileg. Entah apa kaitannya antara permohonan bantuan rutilahu dengan pileg,” ujar wanita yang mengaku lulusan SMA tersebut. Bukan hanya ke kantor kelurahan dan kecamatan, Endang juga sudah meminta bantuan ke anggota dewan dan pejabat pemkab yang tinggal di kompleks perumahan. Bahkan Endang menyambangi Ketua DPRD Rana Suparman, di ruang kerjanya untuk meminta bantuan. Apalagi tempat tinggal Rana dengan dirinya tidak terlalu jauh masih satu kelurahan. “Kata Pak Rana saya akan dibantu dan diajukan ke pemerintah. Saya sangat berharap bantuan dari pemerintah. Takut rumah saya ambruk di malam hari ketika sedang tidur,” tutur Endang yang tak mampu menahan air matanya. Sebenarnya dia ingin mendatangi langsung rumah ketua dewan untuk mengutarakan nasib pahitnya. Tapi niat itu urung dilakukan karena malu ketemu istri ketua dewan yang diakuinya teman satu sekolah saat menuntut ilmu di SMA. “Saya akhirnya mendatangi tempat kerjanya. Kalau ke rumah, saya enggak enak sama istrinya karena teman satu SMA dulunya. Harapan saya hanya satu, saya mendapat bantuan dibangun rumah oleh pemerintah. Mudah-mudahan saja ada kemurahan dari pemerintah,” katanya sambil menyebut beberapa pejabat dan mantan pejabat yang terhitung masih tetangga dekatnya. Kendati masuk kategori miskin, tapi Endang tak pernah mendapat jatah beras miskin atau raskin dari kelurahan. Endang beralasan tak mengambil raskin karena harus menebusnya, sedangkan dia tidak punya uang. Bahkan saat ada pembagian daging kurban pun, Endang jarang diberi panitianya. “Yah mungkin nasib orang miskin seperti saya ini tak ada harganya, sehingga kerap diabaikan oleh siapa pun juga. Jangankan daging kurban, beras raskin saja saya harus menebusnya,” keluhnya. (ags)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: