Gereja Ragukan Aparat

Gereja Ragukan Aparat

KAIRO - Warga Kristen Mesir menyelenggarakan kebaktian dalam suasana duka di dekat Gereja Koptik yang masih bersimbah darah kemarin (2/1). Mereka merasa pemerintah Mesir tak bisa lagi menjamin keamanan mereka dari serangan teror. Presiden Hosni Mubarak mengungkapkan rasa dukanya dengan menyebut serangan itu melukai batin seluruh warga Mesir, baik yang muslim atau kristiani. Bom bunuh diri di Gereja Kristen Koptik Al Qiddissin (Para Santo-Santa), Alexandria, itu terjadi pada 1 Januari waktu setempat. Sebanyak 21 orang -muslim dan Kristen- tewas serta sekitar 70 orang luka-luka. Sebuah masjid juga rusak akibat serangan itu. CNN menulis, Kementerian Dalam Negeri menduga bahwa si pengebom tewas bersama ledakan tersebut. Tim forensik juga menemukan bahwa peranti peledak itu adalah rakitan sendiri dan diracik dengan paku serta bola-bola besi kecil (gotri). (Berita lainnya ada di halaman Internasional). Tak pelak, kutukan dari segala penjuru pun muncul terhadap serangan biadab tersebut. Bukan cuma warga Kristen yang mengutuk, kalangan Islam juga menyebut bom itu tidak mencerminkan kelakuan umat agama apa pun. “Aksi kriminal itu tak dibenarkan dalam ajaran agama apa pun. Islam secara khusus melarang serangan terhadap tempat-tempat ibadah. Bahkan, sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk ikut menjaga tempat ibadah, baik milik muslim maupun nonmuslim,” kata Mohammed Tahtawi, juru bicara Universitas Al-Azhar, kepada Nile TV sebagaimana dikutip CNN. BBC melaporkan, sejumlah pimpinan tinggi organisasi-organisasi Islam di Mesir juga ikut mengutuki aksi bom bunuh diri itu. Kelompok Persaudaraan Muslim, kelompok oposisi di Mesir, mengatakan, tak ada satu agama pun di dunia yang bisa memaafkan aksi kriminal tersebut. Aksi kecaman terhadap bom bunuh diri tersebut juga meluas di berbagai tempat di Mesir. Umat Kristen dan Islam bersatu dalam aksi di distrik Shubra, Kairo, Sabtu malam (1/1). Mereka masing-masing membawa Alquran dan Injil sebagai simbol persatuan melawan kekerasan berdalih agama. Mereka menjawab ungkapan Presiden Hosni Mubarak bahwa umat Islam dan Kristen di Mesir harus bersatu melawan kekerasan dan terorisme. Dari Vatikan, Paus Benediktus XVI menyebut bahwa bom itu mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan menghina Tuhan. Itu senada dengan kalimat Presiden AS Barack Obama yang juga mengatakan bahwa kekerasan itu bersifat biadab (barbar). Suasana duka di Gereja Al Qiddissin kemarin masih begitu terasa. Umat mengenakan pakaian hitam. Mereka berurai air mata saat berdoa. Sebagian berteriak histeris sembari memukul-mukul diri sendiri. “Mereka mati, mereka mati,” teriak seorang wanita sambil terus menangis. Sebagian orang mengutuk pemerintah. “Kami semua selalu menyelenggarakan hari besar dalam suasana duka,” keluh Sohair Fawzy yang kehilangan dua saudari dan seorang keponakan dalam serangan itu. “Tak ada lagi rasa aman di Mesir,” timpal seorang pria. Pendeta Maqar yang memimpin kebaktian memilih tidak berkhotbah. Sebagai ganti, dia minta umat menyatakan duka dengan menciptakan keheningan. “Mari kita berdoa dan berdoa untuk meringankan rasa sakit ini,” katanya setelah kebaktian. Suasana duka itu terasa pas dengan suasana gereja di kota nomor dua di Mesir tersebut. Lantai gereja masih penuh darah akibat bom. Dua patung Yesus dan Bunda Maria terguling. Bangku-bangku berserakan. Tulisan “2011” dari gabus pecah dan tergantung nyaris jatuh di pintu gereja. Di gerbang gereja terpasang salib kayu yang diselimuti kain putih dengan bekas bercak darah. Seorang pemuda mencegah petugas kebersihan yang akan membersihkan tempat itu. “Jangan. Ini darah asli korban,” teriaknya. Ragukan Kemampuan Aparat Umat Kristen Koptik yang kemarin menyelenggarakan kebaktian duka memang menyesalkan minimnya pengamanan oleh pemerintah. “Hanya ada tiga tentara dan seorang polisi di depan gereja. Kenapa sedikit sekali? Padahal, ini momen sensitif. Banyak ancaman yang sudah kami terima,” kata Uskup Agung Raweis, pemimpin tertinggi Kristen Koptik di Alexandria. Ancaman terhadap umat Kristen di Mesir dan Timur Tengah memang meningkat. Pada 31 Oktober 2010, Gereja Katolik Syria Sayidad al-Nejat (Bunda Penebus) diserbu gerombolan bersenjata. Sebanyak 52 orang tewas. Yang mengklaim serangan itu adalah negara Islam Iraq, organisasi sayap Al Qaidah. Mereka mengatakan akan terus menyerang warga Kristen di kawasan itu. Sebab, organisasi itu mengklaim ada dua perempuan mualaf yang masih disandera Gereja Koptik di Mesir. Tuduhan itu memang masih kontroversial. Masing-masing punya versi tersendiri. Dua perempuan itu adalah Camilia Shehata Zakher dan Wafa Constantine. Pada Juli 2010 Zhaker minggat dari rumahnya setelah bertengkar dengan Pendeta Tadaos Samaan, suaminya. Polisi menyebut, dia melarikan diri ke rumah keluarganya. Zhaker sendiri sudah dijemput dan dikembalikan kepada suaminya. Namun, isu dan kontroversi yang berkembang tak sesederhana itu. Ada yang bilang, dalam pelariannya, Zhaker memeluk Islam. Zhaker sendiri lantas menghilang dari publik dan kembali muncul tiga bulan kemudian. Dia mengatakan tak pernah memeluk Islam. Tapi, kelompok Islam radikal meragukan pengakuan itu. Sebelumnya, Wafa Constantine menghilang dari publik pada 2004 setelah minta cerai dari suaminya yang juga pendeta di Gereja Kristen Koptik. Nah, kisah kontroversi dua perempuan itulah yang terus memanas-manasi hubungan Islam-Kristen di Mesir. Isu ini pula yang dijadikan landasan sejumlah serangan terhadap warga Kristen di Timur Tengah, termasuk di Iraq pada 31 Oktober 2010 tersebut. Tiga hari setelah serangan di gereja Iraq itu, Kelompok Persaudaraan Muslim merilis imbauan terhadap pemerintah untuk melindungi seluruh umat Nasrani. Bukan cuma di Mesir, tapi juga di seluruh Timur Tengah. Wajar memang kalau yang dipertanyakan warga adalah kemampuan negara dalam melindungi warganya. Beberapa saat setelah bom meledak, Mubarak menyebut ada tangan asing yang bermain dalam serangan tersebut. Reaksi itu langsung dikritik harian independen Al-Masri Al-Youm. Koran itu menulis, pemerintah harus mengambil langkah berani. Mesir harus memandang ke depan dalam aspek keamanan, politik, sosial, dan budaya setelah serangan itu. “Jangan benamkan kepala kita di pasir. Pemerintah mengatakan, ada tangan asing yang ikut campur. Tapi, kalau fondasi kita kuat, tidak ada kekuatan asing yang bisa mengobok-obok kita,” tulis koran itu. Umat Kristen Koptik berjumlah sekitar 10 persen dari seluruh populasi Mesir yang mencaai 80 juta orang. “Kami sekarang fokus menjaga gereja-gereja,” kata Adil Labib, gubernur Alexandria. (Reuters/AP/AFP/c2/dos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: