Yusril Sebut Putusan MK Blunder

Yusril Sebut Putusan MK Blunder

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019 terus menuai reaksi. Selain dari petinggi parpol yang memberikan reaksi beragam, kemarin pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra ikut angkat suara. Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) itu bahkan menyebut putusan itu blunder. Putusan MK itu berdampak pada Pemilu 2014 yang inkonstitusional. Menurutnya, para hakim MK yang mengumumkan putusan pemilu serentak pada 2019 adalah langkah blunder. Alasan Yusril, di satu sisi MK menyatakan beberapa pasal di dalam UU Pilpres No 42 tahun 2008 bertentangan dengan UUD 45, namun di sisi lain memutuskan pemilu serentak baru pada 2019. Itu artinya Pemilu 2014 tetap berjalan seperti biasa di mana Pileg dan Pilpres dilaksanakan terpisah meskipun MK sendiri sudah menyatakan pasal-pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945. ”Padahal para hakim MK itu sangat sadar kalau putusan MK itu berlaku seketika setelah diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum. Artinya, kalau putusan itu berlaku seketika, namun baru berlaku di Pemilu 2019 dan tahun selanjutnya, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional,” urai Yusril di Jakarta, Jumat (23/1). Dia menegaskan, MK harus tahu kalau melaksanakan pemilu dengan pasal-pasal di dalam undang-undang yang inkonstitusional, maka hasilnya pun inkonstitusional. Sehingga konsekuensinya seluruh anggota DPR, DPD, DPRD tingkat I dan II maupun presiden dan wapres yang terpilih melalui Pemilu 2014 adalah inkonstitusional. ”Tapi anehnya MK seakan menutupi inkonstitusionalitas putusannya itu dengan merujuk putusan-putusan senada yang pernah diambil MK sebelumnya. Bahkan MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan Pileg dan Pilpres 2014 adalah sah meskipun dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pilpres yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat,” papar Yusril. Dia pun mempertanyakan apakah benar semua hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi seperti yang disebutkan di dalam UUD 1945? Dia juga menilai sangat aneh atas putusan MK yang sebenarnya sudah diputuskan April tahun lalu, namun baru diumumkan sembilan bulan kemudian dimana tiga hakim MK yang membuat putusan itu sudah diganti yang lain. ”Seharusnya kan para hakim MK yang sekarang ini bermusyawarah lagi karena siapa tahu tiga hakim yang baru itu memiliki pendapat yang berbeda. Jadi kan aneh saja putusan itu kenapa baru dibacakan sekarang?” tuturnya. Yusril menduga kalau MK seperti dipaksa-paksa pihak tertentu untuk segera membacakan putusan permohonan gugatan uji materil yang disampaikan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak (KMUPS) pimpinan Effendi Gazali dkk. ”Karena dengan pengumuman putusan itu, maka membuat permohonan uji materil saya seperti kehilangan relevansinya lagi untuk disidangkan. Inilah hal-hal misterius dalam putusan MK tersebut,” pungkasnya. Sementara itu, Partai Gerindra yang merupakan salah satu parpol peserta Pemilu 2014 langsung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan yang baru berumur sehari tersebut. Partai besutan Prabowo Subianto itu menilai, MK keliru dalam memutuskan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak. \"MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Tapi, pelaksanaan Pemilu serentak baru diberlakukan pada 2019 mendatang,\" ungkap Kuasa hukum Partai Gerindra, Habiburokhman, kemarin (24/1). \"Itu sangat kontradiktif. Itu merupakan kekhilafan fatal dari majelis hakim. Oleh karena itu, putusan tersebut harus dibatalkan karena ini kan dalam waktu dekat Pileg dan Pilpres. Kalau tidak serentak, maka dibiarkan Pemilu tidak konstitusional. Artinya tidak legitimate,\" ujarnya. Habib menegaskan, tidak ada alasan teknis dan substansial yang memaksa MK menunda berlakunya putusan tersebut. Sebab, jika pertimbangan majelis hakim adalah karena tahapan Pemilu sudah berjalan, maka Pemilu Legislatif bisa dimundurkan dua hingga tiga bulan. \"Lebih mudah mengundurkan Pileg dan Pilpres secara serentak pada tiga bulan ke depan. Karena itu hanya soal teknis saja, apa susahnya. Ketimbang hasil Pileg dan Pilpres tahun ini (2014) tak memiliki legalitasnya,\" tandasnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government Fadjroel Rachman mempertanyakan penundaan pembacaan putusan MK hingga sembilan bulan yang menjadikan jarak pembacaan putusan pemilu serentak dan pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi begitu mepet, hanya selisih tiga bulan. ”Kenapa begitu lama diumumkannya putusan itu?” tukasnya. Menurutnya, masalahan teknis dan prosedur tak bisa menjadi alasan penundaan hak konstitusional rakyat Indonesia hingga 2019. Hal senada disampaikan kuasa hukum KMUPS, Wakil Kamal. Dia mengatakan Pemilu 2014 yang dilakukan terpisah antara pileg dan pilpres jelas-jelas inkonstitusional, maka penundaan pemilu serentak menjadi 2019 pun inkonstitusional. ”MK telah menyatakan pemilu terpisah itu adalah pelanggaran konstitusi, maka penundaan pemilu serentak dari 2014 ke 2019 jelas pelanggaran konstitusi pula. Ini pelanggaran serius terhadap konstitusi karena menunda hak warga negara, hak pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan cerdas,” jelasnya. Terkait kesulitan KPU kalau pemilu serentak dilakukan tahun ini, menurut dia, dengan sedikit menunda waktu pemilu lantas menambah persediaan logistik pemilu seperti kotak suara, maka pemilu serentak niscaya dilakukan tahun ini ”Persoalan teknis tinggal ditunda misalnya dua bulan, lantas menambah kotak suara, saya kira KPU siap,” pungkas Kamal. KY MINTA MK BERI PENJELASAN Terpisah, Komisi Yudisial (KY) meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan penjelasan soal lambatnya hakim konstitusi dalam pembacaan putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) nomor 42 Tahun 2008. Menurut KY, penjelasan tersebut perlu dilakukan MK agar menghilangkan prasangka negatif publik terhadap lembaga pimpinan Hamdan Zoelva tersebut. Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengatakan, permintaan KY tersebut tidak dimaksudkan untuk menuding hakim konstitusi yang dianggap sengaja mengulur waktu pembacaan putusan UU Pilpres tersebut. \"Saya tidak menuding, tapi saya mengatakan jangan sampai menimbulkan kecurigaan sebaiknya MK menjelaskan kenapa rentang waktu sangat panjang dari bulan Maret sudah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sampai setahun baru diputus,\" kata Imam di Gedung KY kemarin (24/1). Imam menjelaskan, seharusnya Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif dan presiden dapat dilaksanakan serentak pada 2014 apabila hakim konstitusi membacakan putusan UU Pilpres tersebut lebih awal. \"Padahal kalau saat itu diumumkan ada kemungkinan masih bisa 2014 karena masih dekat dan setahun persiapannya. Tapi kalau diumumkan sekarang, tentu tidak mungkin karena Pemilu-nya sudah dekat sekali,\" ujar Imam. Menurutnya, kasus lambannya pembacaan putusan uji materi UU oleh hakim konstitusi baru pertama kali terjadi sejak berdirinya lembaga tersebut pada 2003 silam. Selain itu, hal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian politik dalam Pemilu serentak 2014 pada April mendatang. \"Itu menjadikan timbul kecurigaan-kecurigaan apalagi di tahun politik dan yang diputuskan sarat dengan masalah politik. Karena itu, diharapkan MK memberikan penjelasan apa alasannya diulur sampai sekian lama,\" ucap dia. Kendati demikian, Imam menerangkan bahwa KY tidak akan melakukan pemanggilan terhadap hakim konstitusi. Hal tersebut lantaran KY tidak berwenang mengawasi hakim konstitusi. \"Mungkin itu salah satu bagian masukan ke Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang akan memproses,\" katanya. Sementara, Hakim Konstitusi Harjono menjelaskan, pada Maret 2013, sebenarnya hakim konstitusi memang telah mengambil keputusan terhadap permohonan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) untuk Pemilu Serentak. Namun, keputusan yang diambil hanya pada poin penyelenggaraan Pemilu serentak. \"Tapi hal-hal lain selain pemilu serentak belum diambil putusan. Tapi pengambilan putusan saat itu adalah diambil berdasarkan pendapat-pendapat hakim secara lisan,\" ujar Harjono. Harjono juga menjelaskan, penyebab putusan UU Pilpres tersebut lama dibacakan adalah karena banyaknya agenda hakim konstitusi untuk pengucapan putusan sengketa Pilkada. Selain itu, adanya pergantian sejumlah hakim konstitusi juga dijadikan alasan atas keterlambatan tersebut. \"Kemudian ditambah dengan beberapa perubahan hakim. Sebelum perubahan dari Mahfud MD selesai, diganti oleh Akil Mochtar. Lalu Sodiki keluar digantikan Patrialis Akbar,\" terangnya. Harjono melanjutkan, kendala pembacaan putusan UU Pilpres tersebut semakin bertambah dengan ditangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu. \"Kita semua membuang energi untuk mempertahankan kredibilitas MK. Jadi terpaksa tertunda,\" ujarnya. Pada saat Akil dicokok KPK, draf putusan UU Pilpres tersebut masih berada dalam tanggung jawabnya. \"Setelah kita berdiskusi, draf yang dipegang Akil harus dipindahkan ke hakim lain. Jadi akhirnya yang bertanggung jawab adalah Pak Hamdan (saat itu sebagai Wakil Ketua MK). Saat itu, kita mulai untuk membicarakan itu,\" terangnya. Masalah belum selesai. Permasalahan baru timbul karena hakim konstitusi saat itu tinggal lima orang setelah ditinggal Akil, Mahfud, dan Ahmad Sodiki. Harjono melanjutkan bahwa majelis hakim kemudian membicarakan batas ambang bawah dan atas pencalonan presiden (presidential treshold). Karena saat itu hakim tinggal enam, maka terjadilah perbedaan pendapat hakim dimana ada hakim menyatakan Pemilu memerlukan presidential treshold. \"Kalau ada dua pendapat sedangkan yang memberi suara enam, kalau tiga-tiga (tiga hakim setuju tiga hakim tidak) tidak mungkin diambil putusan. Kalau mau ditambah keluar, persolannya Pak Mahfud sudah nyapres. Dua hal itu berpengaruh pada kepentingan Pak Mahfud. Kalau diminta pertimbangan, apa tidak ada persoalan interest-nya,\" beber Harjono. Dia menyatakan bahwa MK memilih untuk menghindari hal tersebut. Akhirnya diputuskan, dalam menyertakan pendapat, suara hakim konstitusi Maria Farida Indrati dianggap tidak ada karena bersikap dissenting opinion (pendapat berbeda). \"Itu baru clear,\" kata dia. Sementara itu, pemohon uji materi UU Pilpres Effendi Ghazali mengatakan, terdapat beberapa bukti adanya upaya sistematis untuk melakukan pembohongan, atau mengutip dari istilah Fadjroel Rachman, sengaja menggagalkan Pemilu Serentak dilaksanakan 2014. \"Coba lihat bukti yang mencolok mata. Saya dan kawan-kawan mengajukan PUU 10 Januari 2013. Sidang selesai 14 Maret 2013. Pada kesimpulan yang dimasukkan pemohon jelas pada bagian akhir dituliskan, kami meminta MK memberi keputusan sebelum 9 April 2013 agar tidak mengganggu tahapan Pemilu 2014 yang sedang berlangsung,\" terang Effendi. Efendi juga membeberkan bahwa pada Putusan MK UU Pilpres kemarin tertulis bahwa keputusan diambil pada RPH tanggal 26 Maret 2013. Padahal, Ketua MK saat itu Mahfud berjanji akan membacakan keputusan di awal April 2013. \"Tapi apa? Keputusan MK akhirnya dibacakan 23 Januari 2014,\" pungkasnya. Dia juga menuturkan bahwa pembacaan putusan yang ditunda hingga 10 bulan tersebut sangat penuh dengan alasan dari MK. Beberapa alasan yang dimaksud antara lain adalah tidak bisa dilakukan 2014 karena keterbatasan waktu, masalah teknis, dan akan mengacaukan tahapan-tahapan Pemilu 2014 yang sedang berlangsung, juga butuh UU baru, dan sosialisasi. Di tengah-tengah urutan kronologis tersebut, lanjutnya, ada peristiwa di mana kuasa hukum pemohon Wakil Kamal mengirim surat ke MK pada 20 Mei 2013 untuk menanyakan kapan keputusan tersebut dibacakan. \"Dijawab oleh Panitera MK dengan mengutip arahan ketua MK bahwa RPH masih berjalan secara tertutup,\" ungkapnya. Dia menyatakan bahwa surat balasan dari MK tersebut semakin menunjukkan adanya upaya menggagalkan Pemilu Serentak yang sesuai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara sistematis dan berkali-kali. \"Buktinya keputusan RPH yang sudah ada pada 26 Maret 2013, dalam surat MK 30 Mei 2013 dinyatakan bahwa RPH masih berjalan sehingga belum ada keputusan,\" bebernya. (dod/byu/ind)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: