Cirebon ‘Kota Larangan’ Hingga Dokumen Parlindungan Yang Diragukan

Cirebon ‘Kota Larangan’ Hingga Dokumen Parlindungan Yang Diragukan

KLENTENG Soeh Boen Pang Gie Soe atau Klenteng Talang masih menyimpan misteri yang belum banyak diungkap. Salah satunya, Cha Li Bun (dialek bahasa Hok Kian) yang artinya \'dilarang bertanya mendalam\'. Cha Li Bun oleh penduduk asli diucapkan Charuban, atau sebaliknya Charuban disuarakan dalam dialek Hok Kian dengan Cha Li Bun. \"Cirebon pada zaman dulu disebut Charuban berarti larangan,\" ujar Tjieoe Kong Giok Menurutnya, dalam sejarah, di zaman sekarang Cirebon dalam bahasa Mandarin \'Jing Li Wen\'. \'Jing\' berarti sumur \'Li\' adalah dalam dan \'Wen\' merupakan nama sungai di Provinsi Shantung di China. Huruf \'Jing\' artinya sumur, hurufnya berbentuk segi empat, sumur di China pada jaman dahulu berbentuk segi empat. Di Klenteng Talang peninggalan sumur segi empat ini masih ada. Sedangkan huruf \'Wen\' selain nama sungai, adalah tempat keluarga marga Kung. Kung Wing Ping, orang yang ditugaskan Cheng Ho (Sam Po Kong) di Cirebon untuk membuat dan memelihara Mercu Suar di Gunung Sembung, menyediakan kayu jati di wilayah Srandil, keperluan perbaikan kapal-kapal dan membangun tempat istirahat, perbekalan berikut perlengkapan yang singgah di Pelabuhan Talang, kini dikenal Klenteng Talang. Penelusuran Radarcirebon.com, salinan manuskrip Cina \'shun feng hsiang sung\' disusun 1430 M menceritakan instruksi jalur pelayaran dari Shun-t\'a (Sunda Pajajaran). Manuskrip tersebut kini tersimpan di Bodleian Library Oxford. Ie Tiong Bie, menterjemahkan karya Claudine Salmon \'Chinese Epigraph Material in Indonesia\' atau Cagar Budaya Tionghoa di Indonesia mengungkapkan Cirebon atau Jing Li Wen, hanya sedikit catatan yang diketahui sebelum VOC saat memperluas kekuasaannya pada Kesultanan tahun 1680. Terungkap, beberapa nama orang syah bandar dan pemimpin masyarakat Tionghoa masa itu. Tugas mereka mengurus Kesultanan, sebagai pemungut pajak pelabuhan dan penyewa pasar. Tan Sing Ko, tahun 1705-1720, bertugas sebagai Pemimpin Tionghoa di Cirebon. Ia memiliki pabrik ubin di tepi sungai berseberangan dengan benteng Cirebon. Ia membangun pabrik gula dengan menyewa tanah dengan perwakilan Sultan Anom, VOC sebagai penjaminnya. Penduduk Tionghoa meningkat jumlahnya pada abad 18. Pada masa itu kehidupan budaya ketiga kraton, Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan sangat dipengaruhi orang-orang Tionghoa. Taman Sunyaragi dan Batik Trusmi motif Mega Mendung serta Wandhas Cina adalah bukti hidup pengaruh tersebut. Beberapa prasasti yang tidak dapat dikaitkan dengan sumber informasi dari Belanda. Makam Tumenggung Chen San Cai atau Aria Wira Cula wafat 1739. Klenteng Chen Jue Sui terdapat tiga buah inskripsi tahun 1714-1718 dan tahun 1790 terdapat kevakuman. Ketika klenteng dibangun kembali atas usaha pemimpin Tionghoa di masa itu dengan bantuan keuangan dari pedagang Cirebon dan delapan kota di wilayah pesisir, termasuk Makassar. Perbaikan Tiao Kak Si secara berturut-turut di abad 19 menandakan bertambahnya penduduk Tionghoa hingga mencapai 3100 tahun 1905. Nama-nama tempat asal yang terdapat pada batu nisan dan papan-papan peringatan yang digantung di klenteng-klenteng menunjukkan bahwa Fujian, terutama desa Longxi Kabupaten Zhangzhou adalah tempat kelahiran para penderma. Tahun 1960, Claudine Salmon menemukan kehadiran etnis Hakka yang terkait dengan klenteng Wen Shan Miao. Sejak tahun 1898 ketiga klenteng di Cirebon dikelola oleh perkumpulan Guang Yu Guan, bertugas memelihara klenteng-klenteng. Yang menarik, Yi Ci atau Persatuan Klenteng Leluhur dan berubah Kong Dao Jiao Tang atau Klenteng Pendidikan Khong Hu Cu, disebut juga klenteng Kong Cu Bio dan lebih dikenal dengan panggilan Klenteng Talang. Bangunan ini didirikan di tanah klenteng Chao Jue Si dan dibangun kembali di jalan Talang oleh Kapten Chen Pang Lang dibantu penerusnya Kapten Qui Chao Yang, Letnan Chen Chang Geng dan Ketua klenteng Yi Ci, Zheng Wen Shui, seperti tertulis di papan kayu tahun 1848. Didekat altar juga terdapat inskripsi-inskripsi menarik pada dua papan peringatan tahun 1907, terdapat kisah pembangunan tempat pemakaman yang dikelola para pemimpin Tionghoa. Tahun 1930, terjadi pembaruan ajaran Khong Hu Cu di Indonesia, klenteng Talang menjadi tempat peribadatan Khong Hu Cu. Klenteng ini masih memelihara papan-papan leluhur termasuk papan Chen San Cai. Seperti diberitakan sebelumnya di Radarcirebon.com, klenteng inilah yang oleh Parlindungan dipakai untuk bahan penelitian sejarah orang-orang Tionghoa dengan menulis \'Berasal dari arsip klenteng Tionghoa di Talang\'. Sementara, Kasi Bina Nilai Tradisional Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, Sugiono, Spd mengungkapkan bahwa versi Parlindungan diragukan. (wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: