Kasus PLTU Sumuradem Munculkan Tersangka Baru
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan seorang tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pembebasan tanah untuk pembangunan Proyek PLTU 1 Indramayu, Jawa Barat. Tersangka baru tersebut yakni mantan Bupati Indramayu, IS. “Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jampidsus Nomor: Print-205/F.2/Fd.1/12/2010 tanggal 13 Desember 2010, telah ditetapkan IS selaku mantan Bupati Indramayu sebagai tersangka dalam penyidikan tindak pidana korupsi pembebasan tanah untuk pembangunan Proyek PLTU 1 Indramayu, Jawa Barat Tahun Anggaran 2006,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Babul Khoir Harahap. Hal itu disampaikan Babul kepada wartawan di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (5/1). Menurut Babul, penetapan IS sebagai tersangka dalam kasus ini merupakan pengembangan dari hasil penyidikan terhadap tersangka lain dalam kasus yang sama. “Penetapan IS sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan dari perkara korupsi pembebasan tanah untuk pembangunan Proyek PLTU 1 Indramayu, Jawa Barat Tahun Anggaran 2006 atas nama tersangka Agung Rijoto dkk,” tuturnya. Perlu diketahui, dalam kasus yang sama, Kejaksaan sebelumnya telah menetapkan 3 orang tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah AR selaku pemilik SHGU No 1 Tahun 1990 yang bertindak selaku kuasa PT Wihata Karya Agung, DH selaku mantan Sekretaris P2TUN Kabupaten Indramayu, dan MI selaku mantan Wakil Ketua P2TUN Kabupaten Indramayu dan juga mantan Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten Indramayu. Dalam kasus ini diduga telah terjadi penyelewengan dana dalam pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU I Indramayu yang terjadi pada tahun 2004 lalu. Kala itu, panitia pengadaan tanah Indramayu hendak membebaskan lahan seluas 82 hektar yang rencananya akan dijadikan lokasi pembangunan PLTU di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu. Namun dalam prakteknya, harga jual tanah digelembungkan. Harga tanah seluas 82 hektar yang semestinya Rp22 ribu per meter persegi tersebut di-mark-up hingga menjadi Rp42 ribu per meter persegi. Akibatnya negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp42 miliar.(dtc)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: