Tahta Suci Jurnalisme Indonesia?

Tahta Suci Jurnalisme Indonesia?

Oleh : Dian Arief Setiawan* Jurnalis yang masih menempatkan hati nurani kebenaran diantara mata-telinga dan pulpennya, maka dengan penuh kesadaran ia akan tidak banyak menulis berita Peran dan fungsi media sebagai mirror of reality sudah beralih menjadi definer of reality. Tanpa kontrol, semua bergantung pada apa yang mendasarinya. Jalinan politis, bisnis dan ideologis menjadi semacam tikar tempat membaringkan semua kebenaran, untuk dilipat dan diganti dengan kegaduhan. Definisi kebenaran bagi media sudah jauh dari kualitas ultim dan apa yang seharusnya. Yang berhamburan dari pipa informasi hanyalah bentuk hegemoni kekuasaan media—“kebenaran korporasi”. Kepanjangan tangan dari political power serta titipan ideologi. Masyarakat tidak dituntun kepada kesantunan untuk menghadapi kenyataan berbangsa, melainkan dibelokkan kepada satu kerumunan masalah yang sama sekali tidak menyentuh akar fundamental perikehidupan. “You want us to consume, OK, let’s consume always more, and anything whatsoever; for any useless and absurd purpose” (Baudrillard dalam Best and Kellner, 1991: 131) Kapitalisme media adalah sosok keserakahan yang menjaring akal sehat untuk menjadi pribadi problematik tanpa jalan keluar. Jika saja ada puasa menulis berita bagi media, mungkin angan ini hanyalah refrein masa lalu yang akan dituduh sebagai pengkhianat kebebasan. Identitas ego yang dipunyai media bukan lagi sebuah spektrum pembicaraan anak-anak kecil yang secara santun, bertingkat dan sabar menggambarkan cita-citanya untuk bisa terbang di bulan, atau menolong yang tertindas dengan cara ubermacht yang lugu. Akan tetapi, media justru membunuh keselarasan, membunuh kesabaran, membunuh pranata sosial, membunuh kecerdasan, membunuh esensi validitas informasi. Media hanya mekanisme trik pasar omong-kosong yang dijalankan secara modern. Model jurnalisme masa kini hanya rotasi pencarian yang mengandalkan kesepakatan umum penuh nafsu, justifikasi premanistik, yang jauh dari layak untuk sekedar dianggap “kabar”. Sepanjang sejarah, kekuatan kata-kata telah memulai dan mengakhiri perang, itulah yang dikatakan seorang penulis. Dan media masih saja tidak mau beranjak dari pesta kebebasan. Jika media tidak merubah diri dari itikad buruk duniawiah, maka sesungguhnya media tidak lain telah meletakkan dirinya dalam tempat yang salah, karena melupakan tugasnya untuk memerdekakan masyarakat dari kebodohan. Menyingkap tabir lain sebagai jembatan pikir, beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah karangan militer anak bangsa. Secara urut ia berbicara mengenai kendala dan upaya peningkatan kemampuan tempur penerbang TNI AU. Dalam kedisplinan itu, saya temukan keharuan sekaligus kesetiaan. Lantas, dalam olah pikir saya membuat perbandingan manfaat, antara karangan militer dan berita yang diproduksi oleh media massa. Akhirnya, dari karang militer itu saya mendapatkan sebuah pelita mandiri tentang arah kebangsaan, bukan lilin yang menerangi dengan membakar diri sendiri, atau juga, bukan petasan yang menimbulkan nyala namun merusak pendengaran dan pandangan. Jika saja, kebebasan pers tidak difahami sebagai tahta suci jurnalisme yang seakan terbebas dari kritik, insyaa alloh, tentulah warga Indonesia akan mendapati satu bentuk kemajuan berbangsa yang dibangun dengan cara arif, bermartabat dan terhormat. Namun dalam media, itu semua masih sekedar menjadi anyaman daun Pandan Hutan, berduri dan sukar dilunakkan. Karena bagi siapa saja yang menampilkan ketidakcocokan dengan kebebasan akan dinilai sebagai pengkhianat kemanusiaan, dan sesungguhnya inilah kekejian subtansial yang terus dilegitimasikan oleh media. Sekali lagi, izinkan saya membuat sketsa bebas atas dosa media. Ketika itu 1745, di kota kecil Saint André, adalah Philippe Pinel, seorang yang (kelak) dicatat sejarah sebagai penemu Moral Therapy. Di tahun 1785, seorang karib Pinel mati, karena ekperimen penyembuhan sakit mental. Untuk menjawab kehilangannya, pada tahun 1792 Pinel mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari penyakit mental dan menjadi kepala rumah sakit jiwa di Bicêtre. Sebelum kedatangannya di Bicêtre, Pinel terbelenggu, diberlakukan dengan sangat kejam, dan tiap hari dipajang untuk menjadi tontonan publik sebagai tanda keingintahuan. Saya tidak perlu merampungkan kisah tentang Pinel, sekaligus saya tidak berharap banyak media mampu menangkap pesan yang saya siratkan. Namun jika boleh mengetuk pintu hati nurani, maka izinkan makna itu masuk dalam kesadaran, bahwa tatkala hasrat keingintahuan telah menguasai kemanusiaan versi media, maka yang akan terjadi hanyalah kekejaman yang tidak lagi dianggap ngeri hanya lantaran tidak mengeluarkan darah. Karena media mengira, hanya dengan terus menyalakan obor alasan berteriak di dada masyarakat, maka peradaban terselamatkan. Itulah dosa media yang paling tua. Dan yakinlah, tidaklah pemberitaan yang sarat hasud dan fitnah kecuali akan menjadikan masyarakat terhinggapi penyakit pikiran yang sukar disembuhkan. Seratus juta lebih manusia Indonesia mengkonsumsi berita, tanpa pernah merasakan kenyang dari keingintahuan, dan justru mengalami pergeseran nalar. Media yang hanya pandai mengusik dan membuat pertanyaan, dipastikan adalah media yang tidak pernah tahu arti jawaban. Dan tidaklah sebuah bangsa maju secara postitif, jika rakyatnya hanya pandai bertanya tanpa mau memproduksi jawaban. Diantara kita, ada mungkin yang pernah membaca disertasi Merlyna Lim yang berjudul The Internet and Political Activism in Indonesia. Di halaman 40, ia mengutip pandangan Buechler tentang collective action dan social movement. Ada tiga matra penting yang mempengaruhi perubahan sosial secara komunal, yaitu symbolic-interactionist, structural-functionalist dan relative deprivation. Jika saya menempatkan media sebagai seorang play-maker di sebuah lapangan pembangungan nasional, maka saya tidak melihat perilaku media masa kini melainkan sebagai gerombolan yang memegang pisau besar dan menebas apa saja yang tidak setuju dengan tuannya: yaitu seseorang yang menginginkan kehancuran Indonesia. Besar harapan rakyat Indonesia kepada para Jurnalis Patriot, yang bersedia menempatkan hati nurani kebenaran diantara mata-telinga dan pulpennya.(*) *Penulis, Jurnalis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: