Pemberkasan Kasus Ambivalen, Yance Tak Pernah Dipanggil Kejagung
INDRAMAYU – Kuasa hukum mantan Bupati Indramayu DR H Irianto MS Syafiuddin (Yance), Khalimi SH MH, kembali menegaskan bahwa Yance selama ini tidak pernah dipanggil pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus PLTU Sumuradem Indramayu. Ia justru berharap dengan tertangkapnya Agung Rijoto, terpidana kasus pembebasan lahan pembangunan PLTU Sumuradem Kecamatan Sukra, akan semakin memperjelas status Yance yang selama ini menggantung. “Pemberitaan yang mengatakan kalau Pak Yance dipanggil Kejaksaan Agung itu tidak benar. Apalagi ada yang mengatakan kalau Pak Yance akan dipanggil paksa itu sama sekali tidak benar, karena klien saya belum pernah dipanggil Kejaksaan Agung,” tandas Khalimi di hadapan sejumlah wartawan, Jumat (28/2). Khalimi mengungkapkan, dari vonis yang dibacakan hakim terhadap terpidana Agung Rijoto, juga menyebutkan bahwa tidak pernah ada petunjuk apapun dari Yance terkait pembebasan tanah untuk pembangunan PLTU Sumuradem Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu. Sementara apa yang dilakukan panitia pembebasan tanah (Moh Ichwan dan Dadi Haryadi), lanjutnya, adalah dalam rangka membela kepentingan umum. Yaitu untuk menegakkan amanat Kepres Nomor 71 Tahun 2006, tentang program diversifikasi energi. Dalam hal ini adalah energi batu bara, dimana dalam waktu 120 hari harus sukses. “Apabila ini tidak dilaksanakan, maka harus menanggung kerugian hingga Rp27 miliar per hari,” tandas Khalimi. Dikaitkannya Yance dengan Agung Rijoto, kata Khalimi, cenderung bermuatan politis karena tahun 2014 memang merupakan tahun politik. Apalagi kenyataan yang ada, Agung Rijoto tidak pernah melihat adanya gratifikasi. Bahkan Agung juga hanya tahu kalau Yance adalah Bupati Indramayu, namun tidak memiliki kedekatan apapun. “Saat Agung Rijoto dalam pelarian, saya juga sempat menjalin kontak dengan dia dan Agung Rijoto secara tegas mengatakan kalau dirinya tidak pernah memberi sesuatu kepada pak Yance,” tandas Khalimi. Menyinggung tentang informasi kalau kasus Yance sedang dalam pemberkasan di Kejaksaan Agung, Khalimi menegaskan bahwa pemberkasan itu memiliki makna yang ambivalen. Menurutnya, pemberkasan memang merupakan kewenangan pihak Kejaksaan Agung. “Pemberkasan ini memiliki makna ambivalen. Pemberkasan bisa dilanjutkan kalau cukup bukti, dan kalau tidak ada bukti maka bisa dihentikan,” tandas Khalimi. (oet/dun)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: