Menuju Kampanye Pilkada Jawa Barat Yang Ramah, Bukan Marah
Ahyarudin SPdI, mahasiswa S2 UMJ dan pegiat kepemiluan.--
Bahkan, dalam beberapa media menyebutkan alasan mereka tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan apriori, masyarakat DKI sudah stereotip dengan proses pilkada, mereka kecewa dengan tingkah polah/prilaku elit politik yang membawa SARA. Sekitar sejumlah 1,5 juta kartu suara dibiarkan begitu saja. Jumlah yang tidak sedikit, tentunya.
Tidak cukup sampai di situ, bahwa keyakinan isu SARA masih dianggap sebagai alat kampanye yang jitu, itu menjadi barometer publik bahwa figur calon (paslon) tidak memiliki prestasi, rendahnya kapasitas dan bukti lemahnya program pembangunan yang menjadi handalan pada pemerintahan jangka panjang selama lima tahun ke depan.
Kampanye pada pilkada serentak adalah momentum adu ide, gagasan dan program, bukan strategi adu konten SARA.
Mengenai cara mengantisipasi agar SARA tidak mengemuka ke publik, mungkin dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, internal dan eksternal. Internal, yaitu melalui intern parpol.
Partai politik sebagai peserta pemilihan serta wadah berdemokrasi mesti ketat dalam tahapan-tahapan penyeleksian, agar figur yang akan didaftakan ke KPU sebagai peserta pemilu benar-benar mumpuni dan layak jual.
BACA JUGA:Target Juara Liga 1 2024/2025, Bali United Balik ke Apparel Lama
Partai politik dapat mempertimbangkan calon-calon yang telah resmi mendaftarkan diri ke partainya, tidak sebatas berorientasi pada program dan strategi calon, namun trac-record nya juga harus jelas.
Apakah calon-calon tersebut punya dosa masa lalu berkaitan dengan kasus-kasus SARA atau tidak. Hal ini tak kalah pentingnya, sebab akan berpengaruh fatal.
Tidak hanya pada masa-masa kampanye, saat kemenangan di raih lalu kekuasaan ditangan nya berpotensi melakukan dan menciptakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Cara yang kedua, yaitu ekternal. Cara ini dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar wewenang partai politik. Misalnya, oleh penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Kendatipun terang disebutkan larangan kampanye SARA sebagaimana tertuang dalam pasal 4 PKPU tentang pencalonan (butir b) “Setia kepada pancasila, UUD Negara RI 45, Cita-cita pokok proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan NKRI”, namun praktek politik kerapkali menyinggung masalah SARA.
Nampaknya, komitment politik itu perlu ditekankan ulang, misalnya melalui “Deklarasi Pemilu Anti SARA” atau sejenisnya untuk menghindari praktek kotor dan keji yang dapat merusak sendi-sendi utama NKRI.
BACA JUGA:637 Atlet Ikut Tes Fisik yang Digelar KONI Kabupaten Cirebon, Sutardi: Persiapan Menuju Prestasi
Cara eksternal, dapat juga dilihat dari lembaga lain selain penyelenggara pemilu. Seperti diketahui, menguaknya isu SARA di pilkada DKI beberapa tahun lalu, adalah disebabkan adanya fatwa lembaga suci, MUI. Fatwa MUI mengenai kewajiban memilih pemimpin muslim, menjadi faktor pemicu.
Hingga terbentuk sebuah wadah yang dinamakan GNPF-MUI (Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa-MUI). Tanpa tanggung-tanggung, gerakan ini memobilisasi jutaan masa dari berbagai daerah menuju Jakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: