Polisi Bayaran Serang Demonstran
KAIRO - Bentrokan antara massa pro-Presiden Mesir Hosni Mubarak dan demonstran kembali memanas. Setelah “dilerai” militer, kemarin sore waktu setempat (3/2) dua kubu itu terlibat aksi pelemparan batu dan benda keras. Insiden tembak-menembak di antara mereka juga dilaporkan terjadi di sekitar Tahrir Square, Kairo. Selain itu, terdengar ledakan bom molotov di kawasan unjuk rasa tersebut. Kali ini ribuan demonstran berusaha memaksa massa pro-Mubarak segera mundur setelah Rabu malam lalu (2/2) menyerang mereka dari pusat Kota Kairo itu. Sebagian massa pro-Mubarak yang dilaporkan sebagai polisi Mesir berpakaian preman tersebut tidak gentar. Mereka membalas aksi pelemparan itu. Dilaporkan, bentrokan tersebut menewaskan tujuh orang, termasuk korban meninggal akibat penyerangan terhadap demonstran anti pemerintah oleh massa pro-Mubarak sejak Rabu malam lalu hingga Kamis pagi (3/2). Bentrokan itu lagi-lagi membuat suasana kota semakin mencekam. Ibu kota Mesir tersebut nyaris lumpuh. Seperti dilaporkan stasiun televisi Al Jazeera, massa pro-Mubarak yang baru muncul Rabu malam, setelah sembilan hari demonstrasi berlangsung di Mesir, diduga berasal dari aparat keamanan (polisi) dan pendukung partai Mubarak, Partai Demokratik Nasional. Hal tersebut diketahui setelah massa anti-Mubarak menyita sejumlah kartu identitas dari massa pro-Mubarak. Dalam kartu itu, terlihat lambang kepolisian setempat. “Ada juga orang dari partai Mubarak.” Demikian laporan Al Jazeera. Massa pro-Mubarak juga dilaporkan sudah mempersenjatai diri dengan benda tajam dan senjata api. Sementara itu, demonstran penentang Mubarak hanya “pasang badan” dengan senjata seadanya. Diduga, juga ada sniper di lokasi bentrokan. Situs berita Sidney Morning Herald menyebut, telah terjadi letusan senjata di tengah bentrokan. Empat orang diduga tewas karena peluru dalam insiden tersebut. Sebelumnya, ABC News menyebut, selain empat korban tewas itu, sekitar 1.500 orang mengalami luka-luka. Massa pendukung Mubarak juga menyerang demonstran dengan bom-bom molotov dan balok-balok beton. Tapi, dua pihak tersebut memakai perisai logam untuk melindungi diri dari serangan. Sesaat sebelum terjadi bentrokan Kamis sore, Perdana Menteri Mesir Ahmed Shafiq meminta maaf atas serangan pendukung Mubarak itu. Dia berjanji menyelidiki dalang penyerangan tersebut. “Saya meminta maaf untuk semua yang terjadi tadi (kemarin, red). Sebab, itu tidak logis atau rasional,” kata Shafiq kepada televisi pemerintah. Dia menyebut serangan itu sebagai kekeliruan. Karena itu, dia berjanji menyelidiki perkara tersebut sampai tuntas. “Agar semua orang tahu siapa yang berada di belakangnya,” ucap dia seperti dikutip Associated Press. Sebelumnya, para demonstran menuduh pemerintah telah mengirim preman bayaran dan polisi berpakaian sipil untuk menyerang mereka dengan batu, tongkat, dan bom molotov. Demonstran menuturkan, serangan massa pro-Mubarak itu bertujuan menggagalkan gerakan yang menuntut presiden turun. Beberapa wartawan yang bertugas di jalan-jalan Kairo juga menjadi korban serangan massa pro-Mubarak. Bukan hanya wartawan lokal, jurnalis asing pun menjadi target serangan pendukung Mubarak. Seperti dilansir stasiun berita CNN Kamis dini hari WIB, seorang wartawan Belgia ditahan. Jurnalis itu dipukuli dan dituduh sebagai mata-mata oleh pendukung Mubarak. Dia dianiaya di pusat Kota Kairo, Choubra. Seorang wartawan Mesir juga menjadi sasaran pengeroyokan beberapa jam setelah penangkapan di lapangan Tahrir. Jurnalis BBC, ABC News, dan CNN juga diserang. Dua korban di antaranya adalah wartawan CNN Anderson Cooper dan Hala Gorani. Serangan itu sontak mengundang perhatian dunia internasional. Kelompok jurnalis internasional menuding, serangan-serangan kepada sejumlah wartawan tersebut dilakukan oleh pemerintah. “Pemerintah Mesir kini berupaya melakukan strategi untuk menghilangkan kesaksian atas tindakan mereka,” kata wakil dari Komite Perlindungan Jurnalis Timur Tengah dan Afrika Mohamed Abdel Dayem. Serangan terhadap pers, lanjut Dayem, merupakan salah satu cara untuk mengintimidasi pemberitaan. Pemerintah Mesir diduga melakukan pemaksaan dengan penyuntingan berita. “Serangan yang dialami wartawan hari ini adalah kesengajaan massa pro pemerintah,” sesalnya. Wartawan Al Arabiya Ahmed Abdullah juga dilaporkan hilang tiga jam. Editor Abdullah mengatakan, anak buahnya yang diduga diculik itu telah ditemukan dalam kondisi terluka parah. “Dia langsung kami bawa ke rumah sakit untuk dirawat secara intensif,” ujar dia seperti dilansir AFP. Selain mengganggu pers, pemerintah mulai mengintervensi perusahaan operator seluler raksasa Vodafone. Mereka diminta pemerintah Mesir menyortir pesan-pesan lewat handphone selama unjuk rasa mengguncang negara Afrika Utara tersebut. Pemerintah berharap pelanggan Vodafone bisa mendapatkan pesan berupa teks yang pro pemerintah. Namun, Vodafone Group PLC dalam sebuah rilis Kamis lalu menyatakan tidak bisa memenuhi permintaan pemerintah Mesir itu. Setelah bersikap netral dan tidak mau mengintervensi, Kamis pagi pasukan militer Mesir mulai bergerak untuk melerai bentrokan. Tank-tank militer Mesir Kamis siang membentuk barikade untuk memisahkan dua massa yang berseteru. Ratusan pasukan militer bersenjata lengkap mendesak dua kubu itu segera mundur. Mereka juga bergerak ke pusat bentrokan. Empat tank digunakan untuk mensterilkan jalan layang dekat lapangan Tahrir yang sempat diduduki para pendukung Mubarak. Dari atas jalan itu, massa pro pemerintah sebelumnya melempar benda keras dan bom molotov ke massa anti pemerintah. Sementara itu, CNN melaporkan, militer Mesir berjanji tidak menggunakan kekerasan terhadap aksi demo yang damai. Pihak militer tetap mendorong agar massa anti-Mubarak kembali ke rumah masing-masing. Selama terjadi bentrok, militer berusaha tak ikut campur. Pihak militer juga mulai mengumpulkan para jurnalis yang meliput insiden itu. Hal itu dilakukan agar para wartawan tidak menjadi korban dan ikut terluka akibat bentrok tersebut. Terhitung, sudah sembilan hari aksi demo menentang Mubarak berlangsung. Massa anti-Mubarak tetap men-deadline Mubarak lengser Jumat ini. Rencananya, hari ini pemerintah Mubarak berjanji berkomunikasi dengan partai-partai oposisi. Hal itu dilakukan agar korban jiwa tidak bertambah. Sebab, jumlah korban tewas maupun luka-luka masih simpang siur, mengingat kerusuhan masih terus berlangsung. Diperkirakan ratusan tewas dan ribuan terluka sejak aksi unjuk rasa pekan lalu. Menteri Kesehatan Mesir Ahmed Samih Farid mengatakan, lima orang tewas dan 836 luka-luka dalam bentrok Rabu lalu (2/2). Seperti dilansir Reuters, dia mengatakan, kebanyakan korban terkena lemparan batu dan sabetan logam dan kayu. Namun, dokter di Mesir seperti dilansir stasiun televisi Al Jazeera mengatakan, jumlah korban tewas mencapai tujuh orang. Tak Ada WNI Tewas Sementara itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjelaskan bahwa tidak ada warga negara Indonesia (WNI) yang tewas dalam kerusuhan di Mesir. Dari beberapa sumber yang dihimpun Kemenlu, tidak ada laporan yang menyatakan adanya kematian WNI di Mesir. Memang, kemarin (3/2) tersiar kabar bahwa seorang WNI bernama Imanda Amalia meninggal dunia saat terjadi bentrok antara pendukung Mubarak dan demonstran. “Ada informasi yang masuk ke kami, Imanda adalah WNI yang bekerja di UNRWA (United Nations Relief and Works Agency, yang merupakan badan PBB yang mengurus pengungsi Palestina) Mesir,” kata Marty di kantornya. Mendapat informasi tersebut, Kemenlu langsung bergerak mencari kebenarannya. Marty pun mengungkapkan, pihaknya langsung menghubungi beberapa pihak terkait. Yang pertama adalah menghubungi kantor UNRWA di Kairo. “Kepada kami, Kepala UNRWA Kairo Dr Abeer Al Khraisha mengatakan tidak ada stafnya yang bernama Imanda,” kata Marty. Selain itu, Abeer menegaskan bahwa hingga saat ini pihaknya belum mendapat laporan bahwa ada staf UNRWA yang menjadi korban kerusuhan di Mesir. Tidak hanya kantor UNRWA Kairo yang dihubungi. Kemenlu juga mengontak kantor pusat UNRWA di Kairo. Namun, hasilnya tetap sama. Nama Imanda tidak tercatat sebagai pekerjanya. “Kami juga meminta informasi dari perwakilan PBB di Jakarta, dan hasilnya sama,” lanjutnya. Selain itu, hingga sore kemarin Kemenlu belum mendapat laporan dari pihak keluarga Amalia. Kata dia, jika Amalia memang WNI dan benar-benar meninggal di Mesir, seharusnya keluarga memberikan laporan. “Tapi, hingga sekarang belum ada,” ucapnya. Marty juga menjelaskan panjang lebar tentang rencana evakuasi pemulangan WNI tahap kedua. Kemarin sekitar pukul 09.30 pesawat Garuda Boeing 747-400 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Kairo via Jeddah. Jika sesuai dengan jadwal, pesawat tersebut tiba di Kairo sekitar pukul 18.00 waktu setempat atau pukul 23.00 WIB. Menurut Marty, pesawat itu akan menggangkut 430 WNI yang sudah siap dipulangkan. “Sekarang mereka masih dikumpulkan di Nasr City,” ujarnya. Menurut Marty, mayoritas 430 WNI yang dipulangkan adalah wanita, anak-anak, orang sakit, dan orang-orang telantar. “Jangan salah paham, orang telantar itu adalah orang-orang yang datang ke Mesir untuk urusan tertentu dan ternyata terjebak kerusuhan,” ucapnya. Nah, sejak pagi kemarin ratusan WNI yang akan dipulangkan itu melakukan registrasi ulang dan secara bertahap diantar menuju bandara internasional Kairo. Targetnya, sebelum jam malam pukul 15.00 semua WNI bisa dikumpulkan di bandara. Selanjutnya, pada pukul 21.30 waktu setempat pesawat berangkat menuju Jakarta. Jadi, jika semua lancar dan sesuai dengan rencana, pesawat itu kembali tiba di Jakarta siang ini (4/2). Kemenlu, lanjut Marty, juga sedang mempersiapkan rencana membuka penerbangan pengungsian bagi WNI dari Kairo yang ditujukan ke beberapa negara sekitar Mesir. Jadi, nanti pengungsi tidak langsung dipulangkan ke Jakarta, tapi terlebih dahulu ke negara yang lebih aman. “Dengan demikian, proses evakuasi keluar Kairo bisa lebih cepat,” ucapnya. Ada tiga kota tujuan yang menurut rencana menjadi tujuan pengungsian. Yakni, Aman, Jordania; Jeddah, Arab Saudi, dan Dubai, Uni Emirat Arab. Marty berharap rencana tersebut cepat dilaksanakan. Selain evakuasi, Kemenlu fokus mengirimkan logistik bagi WNI yang terjebak di sana. Selain KBRI, satgas evakuasi yang diketuai Hasan Wirayuda juga bertugas mengatur logistik bagi WNI di Mesir. “Hingga kini, kondisi WNI di Mesir masih dalam batas kemampuan KBRI,” katanya. (AP/AFP/kuh/c2/iro)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: