Mubarak Tolak Mundur
KAIRO - Aksi demonstran menuntut mundurnya Presiden Mesir Hosni Mubarak tidak surut kemarin (4/2). Meskipun mendapat serangan dari kelompok pro-Mubarak saat berunjuk rasa di Lapangan Tahrir, Kairo, pada Rabu (2/2) dan Kamis lalu (3/2), massa tetap menyuarakan aspirasi dan sikap mereka. Puluhan ribu orang membanjiri Lapangan Tahrir, lokasi utama demo anti-Mubarak sejak Selasa lalu (25/1). Di lokasi itu, massa melakukan salat Jumat untuk berdoa bagi kejatuhan Mubarak. Mereka juga berharap bisa menggalang sejuta lebih massa dalam aksi yang disebut sebagai “hari kejatuhan” (day of departure) tokoh yang berkuasa di Mesir selama 30 tahun tersebut. “Turun, Mubarak. Dia harus turun,” teriak massa setelah selesai salat Jumat. “Kami ingin kepala rezim penguasa dipenggal,” teriak yang lain. Mubarak justru bergeming. Presiden yang terlama berkuasa dalam sejarah Mesir itu menyatakan bahwa dirinya sebetulnya sangat ingin meninggalkan kursi kepresidenan. Tetapi, dia justru khawatir akan terjadi kekacauan atau chaos di Mesir dirinya mundur saat ini. Pernyataan tersebut disampaikan Mubarak dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi AS, ABC News, kemarin. “Saya sudah jemu menjadi presiden dan ingin meninggalkan kursi sekarang. Tetapi, saya tidak bisa melakukannya. Saya takut negeri ini akan tenggelam dalam kekacauan parah,” tutur Mubarak saat diwawancarai Christiane Amanpour dari ABC News. Secara terpisah, Wakil Presiden (Wapres) Omar Suleiman yang baru dilantik juga menyatakan dalam wawancara dengan Amanpour bahwa dirinya tidak yakin kelompok pro-pemerintah telah menewaskan pengunjuk rasa dalam bentrok di Lapangan Tahrir: “Mereka (kelompok pro-pemerintah) bertindak atau berperilaku tidak sampai brutal,” katanya. Ketika ditanya soal penembakan terhadap massa pengunjuk rasa yang berkumpul di Lapangan Tahrir, Suleiman menjawab. “Tidak ada yang mati. Tidak seorang pun tewas oleh senapan atau penembak tepat. Sama sekali tidak ada,” tepisnya. Mubarak bertekad untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilihan presiden pada September nanti. Saat ini dia mendapat tekanan AS dan Barat supaya segera mundur setelah sepuluh hari unjuk rasa untuk menentang 30 tahun kekuasaannya. Tetapi, Mubarak mengaku telah memberitahu Presiden AS Barack Obama soal sikapnya. “Anda tidak mengerti kultur rakyat Mesir dan apa yang akan terjadi seandainya saya mundur sekarang,” ungkap Mubarak kepada ABC News soal pembicaraannya dengan Obama. Pengganti Anwar Sadat itu juga menyebut bahwa pemerintahannya tidak bertanggung jawab terhadap kekerasan terhadap demonstran di Lapangan Tahrir. Sebaliknya, dia menyalahkan kubu oposisi Ikhwanul Muslimin. Bentrok antara pendukung Mubarak dan demonstran pada Rabu dan Kamis lalu menewaskan sedikitnya 13 orang. Selain itu, 836 orang terluka. “Saya sangat sedih atas kejadian kemarin (bentrok pada Rabu dan Kamis lalu, red). Saya tidak ingin melihat rakyat Mesir saling berkelahi,” ujar Mubarak dalam wawancara selama 30 menit tersebut. Amanpour pun mengungkapkan perasaan Mubarak atas insiden itu. “Dia bilang kepada saya bahwa dia merasa sumpek dengan kekerasan yang dilihatnya di Lapangan Tahrir. Tetapi, pemerintahnya sama sekali tidak bertanggung jawab,” tutur Amanpour. Wawancara tersebut terjadi di reception room istana kepresidenan, Kairo, dengan penjagaan ketat tentara. Saat itu Mubarak duduk didampingi putra keduanya yang sempat dikabarkan sebagai calon penggantinya, Gamal Mubarak. “Saya tidak pernah bermaksud untuk mencalonkan diri kembali (dalam pilpres). Saya juga tidak pernah bermaksud untuk menjadikan Gamal sebagai presiden pengganti saya,” ungkap Mubarak. Kepada Amanpour, tokoh 82 tahun itu menyatakan bahwa dirinya merasa lega setelah berpidato melalui televisi dan disiarkan secara nasional pada Jumat lalu (28/1). Saat itu, Mubarak mengumumkan tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai presiden Mesir untuk periode enam tahun mendatang. “Saya tidak peduli apa perkataan orang tentang saya. Saat ini saya hanya peduli dengan negeri saya. Saya sangat peduli kepada Mesir,” papar Mubarak. Ditanya Amanpour bagaimana perasaannya saat ini, pemimpin veteran itu menjawab. “Saya merasa kuat dan sehat. Saya tidak akan mencalonkan diri lagi (dalam pilpres). Tetapi, saya tak akan meninggalkan Mesir. Saya akan mati di negeri ini,” jawabnya. Sebelumnya, mengutip para pejabat pemerintahan Presiden Barack Obama, koran The New York Times menulis Kamis malam lalu bahwa saat ini AS sedang mendiskusikan sebuah rencana dengan para pejabat Mesir agar Presiden Hosni Mubarak segera mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan transisi. Laporan tersebut juga mengungkapkan rencana pembentukan pemerintahan sementara (interim) yang dipimpin Omar Suleiman. Rencana itu diambil untuk mendapat dukungan dari militer Mesir. Gedung Putih langsung membantah ide tersebut sedang dipertimbangkan. Kendati begitu, tidak ada bantahan atau konfirmasi atas laporan The New York Times tersebut. Saat dikontak Agence France-Presse (AFP), juru bicara Gedung Putih Tommy Vietor sema sekali tak menjawab laporan tersebut. “Presiden Obama sudah mengatakan bahwa saat ini adalah waktunya untuk memulai transisi damai, tertib, dan bermakna melalui negosiasi yang bisa dipercaya dan melibatkan semua pihak,” katanya. The Times memberitakan bahwa proposal tersebut menyerukan pemerintahan transisi yang melibatkan para anggota kelompok oposisi secara luas. Termasuk kelompok terlarang Ikhwanul Muslimin untuk memulai proses persiapan pemilu secara bebas dan adil pada September nanti. Di Kairo, Ikhwanul Muslimin menegaskan bahwa mereka hanya siap berpartisipasi dalam pembicaraan soal pemerintahan transisi setelah Mubarak mundur. “Kami berdiri bersama semua kekuatan politik yang mendukung dialog dengan siapapun yang berminat mengimplementasikan reformasi di negeri ini. Tetapi, itu hanya terjadi setelah berakhirnya atau jatuhnya rezim tiran yang korup dan tidak adil saat ini,” tegas pemimpin Ikhwanul Muslimin Mohammed Badie. Sikap ngotot Mubarak tersebut memancing reaksi dari demonstran. Puluhan ribu orang dari berbagai kelompok, sekuler dan religius, serta lapisan sosial masyarakat kembali berkumpul di Lapangan Tahrir. “Hari ini adalah hari terakhir. Hari ini merupakan hari terakhir (bagi Mubarak),” teriak pengunjuk rasa. Lagu-lagu Arab juga terdengar dari penegras suara. Helikopter militer mengawasi dari udara. Ambulans juga disiagakan. Sebuah spanduk berukuran besar juga memuat tulisan dalam bahasa Inggris, sebagaimana yang biasa ditayangkan saluran televisi internasional. “Game over (permainan sudah berakhir),” bunyi tulisan itu. Kelompok oposisi dan demonstran memang telah menetapkan Jumat kemarin sebagai tenggat waktu terakhir (deadline) bagi Mubarak untuk mundur. Jika dia ngotot tidak mau mundur, massa mengancam akan melakukan aksi lebih besar untuk menjatuhkan dia. Bahkan, massa juga mengancam bergerak dan mengepung istana kepresidenan. Militer berusaha meredam aksi itu. Indikasinya terlihat dari kehadiran Menteri Pertahanan (Menhan) Mohamed Hussein Tantawi. Sambil berbicara dengan tentara anak buahnya, Tantawi juga mengawasi aksi demo. “Menteri pertahanan menginspeksi situasi di Lapangan Tahrir,” kata presenter sebuah stasiun televisi. Tantawi dilaporkan mendesak massa agar segera meninggalkan lapangan dalam unjuk rasa kemarin. Menurut koresponden AFP, Tantawi berpidato di depan massa dengan dikelilingi tentara. Selanjutnya, dia meminta massa duduk. “Orang itu (Mubarak) sudah bilang kepada Anda bahwa dia tidak akan mencalonkan diri lagi,” tutur Tantawi. Dia mengulangi seruan pemerintah Mesir yang mengajak Ikhwanul Muslimin bergabung dalam dialog dengan pemerintah. Sehari sebelumnya, Wapres Omar Suleiman juga telah meminta Ikhwanul Muslimin untuk memulai dialog. Tetap, ajakan itu ditolak. Secara terpisah, pemerintah Mesir menyatakan kerusuhan akibat unjuk rasa telah membawa kerugian ekonomi bagi negara tersebut. Kendati begitu, Mesir telah menyiapkan 5 miliar pound atau sekitar 854 juta (sekitar Rp7,686 triliun) untuk kompensasi bagi para korban kerusuhan selama unjuk rasa antipemerintah. Ganti rugi itu diberikan untuk kerusakan properti. “Kami telah membuat kalkulasi dan kami bisa menanggung kerugian tanpa membebani anggaran negara,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Samir Radwan kemarin kepada Reuters. Ditanya soal kemampuan pemerintah mengatasi aliran dana keluar Mesir saat perbankan buka lagi pada Senin nanti (7/2), Radwan menjawab bahwa itu merupakan tanggung jawab bank sentral. “Kami terus memantau situasinya lewat kerja sama dengan bank sentral,” tutur Radwan. (AFP/Rtr/AP/dwi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: