Masyarakat Belum Paham Hak dan Kewajibannya
Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan beserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyosialisasikan prosedur jaminan kesehatan nasional (JKN) di RM Mayang, Jumat (28/3). Sosialisasi yang melibatkan ribuan aparatur pemerintah desa dan praktisi medis ini menjelaskan beberapa kendala JKN BPJS Kesehatan beserta mekanisme dan teknis pendaftaran kepesertaan. Narasumber sosialisasi ini adalah Kepala Dinkes Raji K Sarji MKes dan Kepala Cabang Utama BPJS Cirebon drg Bona Evita. Pembukaannya dilakukan secara simbolis oleh Bupati Kuningan Hj Utje Ch Hamid Suganda MAP. Dalam sambutannya bupati mengatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan sosial melalui sistem jaminan sosial nasional. Hal ini sesuai dengan UU nomor 40 tahun 2004, yang memungkinkan pemerintah mengembangkan jaminan sosial secara menyeluruh. “Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa program jaminan sosial bersifat wajib untuk mengakomodasi seluruh penduduk. Pencapaiannya dilakukan secara bertahap. Lalu seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Jaminan sosial yang diprioritaskan adalah program jaminan kesehatan,”tuturnya. Oleh karena itu, kata Utje, jaminan kesehatan tidak dapat dipisahkan dari sistem kesehatan secara keseluruhan. Tujuan akhirnya adalah tercapainya derajat kesehatan penduduk Indonesia agar hidupnya lebih produktif dan kompetitif. “Saat ini, implementasi jaminan kesehatan nasional diperkuat oleh peraturan pendukung, di antarannya adalah UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. PT Askes yang bertransformasi menjadi BPJS adalah leading sektornya,” terangnya. Menurut Utje, sejak Januari 2014 era baru jaminan kesehatan Indonesia dimulai dengan hadirnya JKN atau yang akrab disebut BPJS kesehatan. Sayang, karena usianya baru seumur jagung, implementasi JKN ini masih mengalami berbagai kendala. Terutama dalam hal pemahaman masyarakat mengenai mekanisme pendaftaran menjadi peserta BPJS. “Masyarakat masih belum memahami hak dan kewajibannya sebagai peserta BPJS. Selain itu, calon peserta BPJS juga masih kesulitan mendaftar karena kantor cabang BPJS di daerah masih terbatas,” ucapnya. Kendala lain yang cukup ironis, kata Utje, adalah tidak masuknya masyarakat miskin secara otomatis ke dalam kepesertaan JKN. Sehingga, di dalam pembiayaan kesehataannya masih didelegasikan kepada pemerintah daerah melalui jaminan kesehatan daerah (jamkesda). Selanjutnya, pelayanan di tingkat rujukan pun masih terkendala. Tidak semua rumah sakit memahami paket pembayaran INA CBGs. Bahkan, beberapa rumah sakit mengeluhkan tarif paket INA CBGs yang dianggap terlalu rendah, sehingga implementasi pelayanannya masih belum maksimal. “Distribusi fasilitas kesehatan juga masih menjadi kendala. Sebenarnya ini wajar, karena di negara lain yang menerapkan sistem universal health coverage pun kerap terjadi,”sebutnya. Maka dari itu, harus ada dorongan agar BPJS kesehatan memperbanyak kerja sama dengan provider hingga ke tingkat puskesmas dan klinik dokter. “Obat, juga masih jadi kendala. Kadang kala, formularium obat yang diberikan kepada pasien tidak sesuai kebutuhan karena obat yang dimaksud belum tersedia,” ungkapnya. Kendala lainnya, belum adanya regulasi yang mengatur mekanisme dana kapitasi di pemberi pelayanan kesehatan (PPK) tingkat 1. Sehingga saat ini dana tersebut belum dimanfaatkan oleh PPK 1. Tidak hanya itu, belum optimalnya sistem P-care PPK 1 juga berdampak pada layanan yang diberikan kepada peserta. “Dalam hal ini, penentuan besaran iuran BPJS menjadi faktor kunci. Agar dokter dan fasilitas kesehatan termasuk obat dibayar dengan harga yang layak, serta terjadi keseimbangan antara permintaan dan penyediaan obat,” tandasnya. (tat)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: