Kadhafi Menghitung Hari

Kadhafi Menghitung Hari

TRIPOLI- Krisis politik di Libya sepertinya bakal menuju fase baru. Memasuki hari ketujuh kemarin (21/2), unjuk rasa menuntut mundurnya pemimpin Libya Muammar Kadhafi semakin meluas di seantero negeri. Demonstrasi yang semula meletus di kota-kota kawasan timur, seperti Benghazi, telah menjalar ke kawasan barat. Bahkan, untuk kali pertama, demonstrasi anti-Pemerintah kemarin berlangsung di ibu kota, Tripoli. Selama ini kota yang berada di wilayah barat Libya dikabarkan relatif aman dari protes anti-Pemerintah. Selama beberapa hari sebelumnya, hanya unjuk rasa mendukung pemerintah yang terjadi di sana. Bentrok di antara dua kelompok massa itu tidak mustahil akan terjadi sehingga bisa terjadi perang sipil di Libya. Sebuah kantor polisi di ping­giran Tripoli dibakar massa. Reporter Reuters melihat asap tebal mengepul dari bangunan yang terletak di kawasan Souk Al Jamma, timur Tripoli, tersebut. Beberapa mobil yang diparkir di depan kantor polisi itu ikut dibakar. Tidak hanya itu, demonstran juga merusak stasiun televisi dan radio milik pemerintah. Selain itu, kantor kementerian dalam negeri yang berada di pusat kota dibakar pula. Kantor Komite Rakyat atau People’s Conference Centre di kawasan permukiman Hay Al-Andalous, Tripoli, juga membara akibat dibakar para pengunjuk rasa antipemerintah. Padahal, bangunan itu biasanya digunakan untuk tempat pertemuan para pejabat dan demonstrasi propemerintah. “Kantor pusat stasiun televisi Al-Jamahiriya 2 dan stasiun radio Al-Shahabia telah dirusak dan dibuat porak-poranda oleh massa,” tutur seorang saksi mata kepada Agence France-Presse (AFP) lewat telepon. Siaran stasiun TV dan radio tersebut sebetulnya dihentikan pada Minggu malam lalu (20/2). Kemarin pagi keduanya siaran kembali secara normal. Tetapi, selang beberapa saat kemudian malah menjadi target perusakan massa. Al-Jamahiriya 2 merupakan stasiun televisi kedua milik pemerintah Libya. Stasiun televisi itu maupun stasiun radio Al-Shababia didirikan putra Kadhafi yang menjadi tokoh berpengaruh di Libya, Saif al-Islam, pada 2008. Lantas, keduanya dinasionalisasi setelah penyiaran dinyatakan dimonopoli negara. Saksi mata lain menyatakan bahwa empat frigat atau kapal perang Libya telah merapat di Pelabuhan Tripoli kemarin. Kehadiran kapal perang itu menjadi sinyal bahwa Kadhafi bertekad melawan demonstran hingga titik terakhir. Hal itu telah disampaikan Saif al-Islam dalam wawancara di televisi Minggu malam. Tetapi, kekuasaan Kadhafi yang telah berlangsung selama 41 tahun bisa jadi kini tinggal menunggu atau menghitung hari. Sebab, protes antipemerintah telah mendapat legitimasi dari para ulama dan tokoh Islam di Libya. Sebuah koalisi para pemimpin Muslim Libya telah mengeluarkan fatwa bahwa seluruh Muslim di negara itu memiliki kewajiban untuk memberontak terhadap rezim yang berkuasa. “Mereka (rezim Kadhafi) jelas telah menunjukkan sikap arogan dan tak kenal hukum. Mereka juga terus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, mereka kafir atau mengingkari perintah Allah dan sunah Rasul,” seru kelompok yang menamakan diri sebagai Jaringan Ulama Bebas Libya itu dalam fatwa mereka. Aksi pembangkangan masal juga terjadi. Sejumlah pejabat pemerintah memutuskan untuk mundur dari jabatan mereka. Surat kabar Quryna menulis bahwa Menteri Kehakiman Libya Mustapha Abdeljalil telah mengundurkan diri karena keberatan atas penggunaan kekuatan militer terhadap para demonstran di negara tersebut. Beberapa pejabat top juga mundur sebagai respons terhadap penyerangan terhadap demonstran. Utusan Libya untuk Liga Arab Abdel Moneim al-Honi telah mengumumkan “bergabung dalam revolusi” alias mendukung demonstran. Dubes Libya untuk India Ali al-Essawi juga mundur. Dua suku terbesar dalam kelompok etnis di Libya, termasuk suku Warfla, telah memastikan mendukung unjuk rasa antipemerintah. Sebuah unit militer Libya juga membangkang dan menyatakan tidak lagi tunduk kepada rezim Kadhafi. Situasi di Libya saat ini makin mengkhawatirkan. Chaos terjadi di mana-mana. Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa Kadhafi sudah meninggalkan  istana di Tripoli. Tokoh yang berkuasa setelah mengudeta Rada Idris pada 1969 itu dikabarkan kini berada di kota kelahirannya, Sirt. Laporan yang lain menduga dia bersembunyi di markasnya yang berada di  tengah gurun pasir di Sabha. Korban tewas dalam unjuk rasa antipemerintah di Libya terus bertambah. Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (HAM) atau IFHR menyatakan bahwa korban tewas telah mencapai 400 orang sejak unjuk rasa meletus pada Selasa lalu (15/2). Belasan orang kemarin dilaporkan tewas dalam bentrok antara demonstran dan pasukan keamanan di Tripoli. Demonstran dilaporkan telah menguasai beberapa kota. “Banyak kota telah jatuh, terutama di timur. Tentara juga telah bergabung dalam pemberontakan menentang Kadhafi,” kata Kepala IFHR Souhayr Belhassen. Termasuk di antaranya Beng­hazi, kota terbesar kedua di Libya. Warga dan demonstran merayakan sukses mereka menguasai kota tersebut dengan suka cita. Mereka turun ke jalan sambil membawa bendera nasional. Di Kota Al Bayda, yang berjarak sekitar 200 km dari Benghazi, demonstran telah menguasai kendali. Kota tersebut menjadi lokasi bentrok berdarah antara demonstran dan pasukan keamanan pekan lalu. Total, sedikitnya sembilan kota di wilayah timur berhasil dikuasai demonstran. IFHR menyatakan bahwa Tobruk di ujung timur Libya maupun kota-kota lain seperti Misrata, Khoms, Tarhounah, Zeiten, Al-Zawiya, dan Zouara yang berada dekat Tripoli juga dikuasai demonstran. Tetapi, Belhassen merevisi informasi dan klaim sebelumnya bahwa kota kelahiran Kadhafi, Sirte, telah jatuh ke tangan demonstran. Sejumlah  saksi mata di kota itu menuturkan bahwa situasi di sana saat ini tenang. Belhassen menyebut rezim Kadhafi berupaya untuk memanfaatkan chaos dengan mengintensifkan serangan terhadap demonstran. Dia mendesak supaya lembaga HAM PBB turun tangan. Dia juga berharap komunitas internasional memastikan bahwa Kadhafi diadili di depan Mahkamah Kriminal Internasional. Menyusul situasi chaos di Libya, negara-negara asing mulai mengevakuasi warganya di sana. Uni Eropa memutuskan mengungsikan ribuan warganya dari Libya. Protugal kemarin mengirimkan pesawat militer ke Tripoli untuk mengungsikan warganya. Hal sama dilakukan beberapa negara Uni Eropa lainnya, termasuk Spanyol. Sejumlah perusahaan minyak yang beroperasi di Libya juga mengungsikan para pekerjanya. Salah satu di antaranya raksasa minyak Inggris, BP. Hal itu juga dilakukan raksasa industri Italia, Finmeccanica. Sementara itu, Italia dan Bulgaria mengikuti jejak Tiongkok. Mereka menerapkan travel warning dan melarang warga negara mereka bepergian ke Libya. (AFP/Rtr/AP/dwi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: