Tata Kelola Pemerintah Desa Dianggap Bobrok, Warga Hulubanteng Tuntut Kuwu Diberhentikan

Tata Kelola Pemerintah Desa Dianggap Bobrok, Warga Hulubanteng Tuntut Kuwu Diberhentikan

Warga Desa Hulubanteng, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Cirebon gelar aksi unjuk rasa, Rabu 16 Juli 2025.-ISTIMEWA/RADARCIREBON.COM-

CIREBON, RADARCIREBON.COM – Suasana panas menyelimuti Balaidesa Hulubanteng, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Cirebon, saat ratusan warga menggelar aksi unjuk rasa pada Rabu 16 Juli 2025.

Aksi tersebut menjadi puncak kemarahan warga terhadap kinerja pemerintahan desa yang dinilai amburadul dan merugikan masyarakat luas.

Puncak aksi itu ditandai dengan pembakaran ban oleh salah satu warga di depan gerbang desa sebagai bentuk protes keras.

Sejumlah spanduk bertuliskan surat peringatan (SP) dari Bupati Cirebon hingga janji politik kepala desa pun dibentangkan di gapura desa, menggambarkan keresahan dan kekecewaan yang telah lama dipendam.

Menurut koordinator aksi, Kartika Eka Andriyuda, masyarakat mengajukan delapan poin tuntutan yang mencerminkan kondisi carut-marut Pemerintah Desa Hulubanteng selama bertahun-tahun.

BACA JUGA:Cari Prajurit Berkualitas, TNI AD Gelar Seleksi Diktukbasus, Inilah Peran Korem 063 SGJ

BACA JUGA:Jadi Kadis DPMPTSP, FKIC Yakin Hilmy Riva’i Mampu Dongkrak Investasi dan Hidupkan MPP Kabupaten Cirebon

Dalam orasinya, Kartika menyampaikan bahwa salah satu poin utama adalah menagih janji politik kepala desa yang pernah berkomitmen akan mundur jika tidak mampu menjalankan tugas dengan baik.

"Kami di sini menuntut delapan poin. Yang pertama adalah menagih janji kepada kepala desa yang apabila tidak sesuai dengan kinerjanya, maka akan mengundurkan diri," ujar Kartika di hadapan massa aksi.

Poin berikutnya adalah dugaan pungutan liar dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya hanya memungut Rp150 ribu per sertifikat, namun di lapangan ditemukan warga harus membayar hingga Rp1 juta.

"Tidak sedikit warga yang dipungut Rp650 ribu, bahkan ada yang Rp800 ribu hingga Rp1 juta. Ini jauh dari aturan," tegas Kartika.

Tak hanya itu, warga juga menyoroti belum selesainya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Dana Desa tahun 2022 hingga kini.

Ironisnya, kendati telah diaudit Inspektorat pada 2023 dan disinyalir ada pengembalian dana, pemberkasan laporan tetap mangkrak.

BACA JUGA:Tidak Diterima Digugat Oleh Adik Iparnya, Sugiarto Tjiptohartono Lakukan Gugatan Balik

BACA JUGA:Jadi Korban KDRT, ASN Disdikbud Kuningan Malah Terancam Sanksi Kode Etik

“Ini bukan soal teknis semata. Ini adalah bentuk kelalaian dan ketidakseriusan pemerintah desa. APBD Desa tidak cair, kegiatan desa pun terhambat total,” tambahnya.

Kekecewaan warga juga makin memuncak karena dalam forum evaluasi perangkat desa, dari 11 orang, hanya 5 yang hadir.

Hal ini dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan minimnya kepedulian terhadap tata kelola pemerintahan.

"Perangkat desanya saja tidak berdomisili di desa ini. Bahkan dalam empat tahun terakhir, sudah ganti empat sekdes. Ini membuktikan tidak ada stabilitas birokrasi," kata Kartika.

Persoalan irigasi juga mencuat, akibat sodetan air oleh oknum perangkat desa, warga kehilangan aliran air ke area persawahan mereka.

Imbasnya, sektor pertanian sebagai sumber penghidupan utama warga pun terdampak langsung.

Kartika menyebut, upaya mediasi dan pembinaan dari Pemerintah Kabupaten Cirebon sudah dilakukan berulang kali. Bahkan, Bupati Cirebon telah mengeluarkan tiga kali surat peringatan (SP1 hingga SP3).

BACA JUGA:Lantik 1.735 PPPK di Stadion Watubelah, Begini Harapan Bupati Imron

BACA JUGA:Tangani Masalah Sampah, Pemkab Cirebon Gandeng PT Global Energy Investama, Begini Tugasnya

Namun hingga kini, belum ada tindak lanjut berupa pemberhentian sementara atau tetap terhadap kuwu.

"Pak Bupati seperti tutup mata. Padahal SP3 sudah dikeluarkan, dan secara aturan, langkah selanjutnya adalah pemberhentian sementara," tegasnya.

Masyarakat menilai lambannya tindakan Pemerintah Kabupaten Cirebon turut memperparah kondisi pelayanan publik dan menahan berbagai program pembangunan.

Dana Desa untuk tahun 2022 hingga 2024 disebut belum cair karena administrasi yang tidak kunjung rampung.

"Kegiatan pembangunan, BLT, program ketahanan pangan semua terhambat. Bahkan tahun 2025 tahap kedua pun belum bisa dicairkan. Ini akibat buruknya administrasi yang tidak kunjung dibereskan,” jelas Kartika.

Salah satu warga lanjut usia, Dukim (67), mengaku sudah dua tahun tak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Padahal sebelumnya, bantuan rutin diterimanya dalam jumlah Rp105 ribu hingga Rp210 ribu.

BACA JUGA:Balaidesa Hulubanteng Didemo, Warga Tuntut Kinerja Perangkat Desa dan Kuwu Dievakuasi

BACA JUGA:Dugaan Korupsi Modus Sewa Tanah di Majalengka, 38 Saksi Jalani Pemeriksaan

“Tahun-tahun sebelumnya dapat BLT, tapi sejak 2024 sampai sekarang tidak. Pemerintah desa tidak pernah memberi penjelasan, hanya bilang nanti juga bakal dapat,” keluhnya.

Warga Desa Hulubanteng menaruh harapan besar pada aksi ini agar menjadi sinyal kuat bagi Bupati Cirebon untuk segera mengambil langkah konkret.

Mereka menuntut agar kuwu diberhentikan sementara sesuai prosedur hukum yang berlaku, dan apabila tidak ada perbaikan, maka diberhentikan secara permanen.

"Sudah terlalu lama kami menahan kesabaran. Ini bukan hanya soal kepentingan warga, tapi juga soal keberlangsungan pembangunan desa dan kepercayaan terhadap pemerintah," tandasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: reportase