Dorong Demokrat Bentuk Poros Baru
JAKARTA - Partai Demokrat diminta tidak buru-buru menyatakan diri sebagai kekuatan oposisi untuk pemerintahan lima tahun mendatang. Meski dianggap strategis untuk membangun kembali kepercayaan publik pada kancah politik 2019, sikap oposisi mestinya diambil jika skenario akhir menunjukkan Demokrat gagal di pertarungan Pemilu 2014 ini. Skenario akhir itu seharusnya mengusung capres atau cawapres dari peserta konvensi yang sudah dijalankan. \"Sebaiknya upayakan bentuk cluster (poros) ke empat di mana Demokrat dan khususnya SBY bisa menjadi tokoh sentral yang memainkan itu,\" kata pengamat politik dari Universitas Mercu Buana, Heri Budianto, Senin (28/4). Menurut dia, apabila SBY melakukan gerilya politik dengan berupaya membangun poros sendiri maka peluang untuk terwujud akan besar. Partai yang ditengarai bakal bergabung adalah PKS, PAN, dan bahkan PKB. \"PKS dan PAN akan lebih senang merapat ke Demokrat jika SBY membangun cluster baru,\" ujarnya. Jika terwujud maka langkah berikutnya adalah membicarakan siapa yang akan diusung sebagai capres dan cawapresnya. \"Tokoh yang diusung bisa saja dari Demokrat, dari salah satu dari peserta konvensi. Atau dari PAN Hatta Rajasa sebagai capres lalu dari PKS sebagai cawapresnya,\" beber Heri. Kemudian, lanjut dia, jika Demokrat dan porosnya kalah dalam Pilpres maka pilihan oposisi adalah pilihan terakhir dan ksatria bagi partai bintang mercy. Sementara itu, pakar hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengingatkan agar Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mengikuti cara-cara partai lain dalam menentukan rekan koalisi. Termasuk, dalam menetapkan capres atau cawapres yang akan diusung berdasar hitung-hitungan pragmatis. \"Sebagai seorang yang memiliki pengalaman sebagai presiden selama 10 tahun dan sebagai seorang negarawan, SBY tentu memahami tujuan dan kebutuhan membawa bangsa ini sesuai dengan yang dicita-citakannya,\" katanya. Menurut dia, penetapan partai koalisi atau calon presiden tidak boleh lagi dilakukan berdasarkan hitung-hitungan pragmatis. SBY juga tidak perlu memutuskan berdasarkan prediksi lembaga-lembaga survei. Ditegaskannya, kebutuhan bangsa ini akan pemimpin bukan cuma berdasarkan popularitas. \"Indonesia tidak membutuhkan presiden yang sekedar populer. Indonesia justru membutuhkan presiden dan wakil presiden yang memiliki kapabilitas, integritas, pengalaman dan segala hal yang dibutuhkan kecuali popularitas itu sendiri,\" tegasnya. Dia ingatkan lagi, sikap partai lain yang menyerahkan penetapan calon presiden dan calon wakil presiden berdasar hasil survei dari lembaga survei seharusnya tidak diikuti oleh SBY. \"Partai yang sudah dikasih kewenangan malah menyerahkan kewenangan untuk memilih, menentukan dan mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden kepada lembaga survei,\" demikian Asep. (rmol/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: