DPRD Tak Ingin Salah Langkah

DPRD Tak Ingin Salah Langkah

***Belum Tegas Soal Kuota PPDB, BMPS Setuju Dihapus   KESAMBI– Tidak hanya Disdik Kota Cirebon, para wakil rakyat juga sangat hati-hati soal wacana penghapusan kuota 90-10 dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Jika ingin dihapus, perlu pembahasan serius dan mendalam yang melibatkan semua pihak. Hal ini disampaikan Sekretaris Komisi C DPRD Kota Cirebon, Taufik Pratidina. Dia mengatakan, pembagian kuota 90-10 persen menjadi bagian dari komitmen para wakil rakyat dalam mengakomodasi warga Kota Cirebon untuk mengenyam bangku pendidikan di sekolah-sekolah yang ada di Kota Cirebon. APBD Kota Cirebon, kata Taufik, diperuntukkan bagi pembangunan dan kesejahteraan warga kota. Karena itu, Komisi C DPRD tetap berkeinginan agar warga Kota Cirebon diakomodasi lebih dalam proses PPDB nanti. Pihaknya tak ingin salah langkah, karena persoalan ini adalah bagaimana mendahulukan warga Kota Cirebon bersekolah di kotanya sendiri. Meskipun demikian, sambung Taufik, keputusan akhir ada pada tahapan yang saat ini sedang berproses. “Ada tidaknya kuota masih dibahas. Pada waktunya akan diputuskan bersama,” terangnya. Sementara itu, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Cirebon setuju jika kuota ini dihapus. Sebab, pengalaman tahun 2013 lalu, PPDB dengan pembagian kuota menimbulkan aksi titip menitip dan kekisruhan pendidikan. Selain itu, pembagian kuota dianggap melanggar aturan pendidikan. Ketua BMPS Kota Cirebon Drs Halim Faletehan MM mengatakan, pembagian kuota PPDB tidak perlu dilakukan lagi. Dengan pembagian kuota 90 persen untuk warga kota dan 10 persen luar kota, kata Halim, justru membuat persoalan dalam dunia pendidikan di Kota Cirebon. “Saat itu, sekolah negeri non favorit banyak kekurangan siswa, sementara sekolah negeri favorit harus menampung lebih,” terangnya. Menurut Halim, dunia pendidikan tidak mengenal pembagian berdasarkan asal daerah. Warga dari manapun berhak sekolah di Kota Cirebon. Begitu pula sebaliknya. Sebab, standar masuk sekolah bukan karena kedaerahan, melainkan kecerdasan dari calon siswa bersangkutan. Halim menjelaskan, tujuan pendidikan tak akan tercapai jika standar kecerdasan tidak digunakan dalam menyeleksi siswa baru. Sebab, lanjut Halim, orang dengan standar kecerdasan 6, misalnya, hanya karena warga Kota Cirebon masuk ke sekolah dengan standar kecerdasan 8. Jika dipaksakan, efeknya siswa akan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Hal ini berakibat pada kemampuan siswa itu menjadi tidak terasah maksimal. Bahkan cenderung tertekan. “Tidak perlu ada pembagian kuota 90-10 persen. Itu melanggar dan pencideraan terhadap dunia pendidikan,” tegasnya. Terkait alasan anggaran pendidikan di kota banyak dari APBD Kota Cirebon, menurut Halim hal itu tidak sepenuhnya benar. Pria yang juga kepala sekolah SMK PUI Kota Cirebon itu menilai, anggaran APBN dan APBD Provinsi Jawa Barat yang masuk ke pendidikan, jauh lebih banyak dan besar. Seperti, anggaran untuk gaji guru dan tunjangannya, sarana prasarana pendidikan, dan lain sebagainya. Namun hal itu tidak pernah diakui. “APBD Kota bisa digunakan untuk beasiswa siswa bagi warga kota. Hal itu lebih elegan dalam pendidikan,” tukasnya. Sedangkan, kata Halim, keraguan dewan akan kejujuran hasil Ujian Nasional (UN) daerah lain, dia menceritakan pengalaman nyata sebagai kepala sekolah SMK PUI Kota Cirebon. Sebagai perbandingan, SMKN 1 Kota Cirebon siswanya lulus 100 persen. Hal yang sama juga terjadi pada siswa SMK PUI lulus 100 persen dengan nilai yang bagus. Padahal, Halim mengakui kualitas dan akreditasi SMKN 1 Kota Cirebon paling tinggi, sedangkan sekolahnya masih jauh dibawahnya. Terkait itu, Halim mempersilakan masyarakat mengambil kesimpulan. “Itu jelas dalam menilai apakah UN di Kota Cirebon jujur atau tidak? Sama seperti daerah lainnya,” ucap Halim. Karena itu, lanjutnya, pembagian kuota 90-10 persen tidak ada kaitan dengan aksi titip menitip maupun hasil UN jujur atau tidak. Justru, hal itu merusak sistem pendidikan nasional dengan pengkotak-kotakan siswa berdasar asal daerah. Tidak hanya itu, BMPS merasakan efek dari pembagian kuota itu bagi sekolah swasta. Yakni, terjadi penurunan dari siswa luar kota. Lepas dari itu, BMPS mengambil sikap tegas untuk menolak pemberlakuan kembali kuota 90-10 persen. Dan menjaga komitmen bersama untuk tidak saling titip menitip. (ysf)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: