Chaves Ogah Kunjungi Kolombia

Chaves Ogah Kunjungi Kolombia

CARACAS - Venezuela meningkatkan ancaman perangnya terhadap Kolombia terkait dengan pernyataan negara tetangganya itu yang menuduh Venezuela melindungi 1.500 anggota kelompok pemberontak. Namun, menurut sejumlah pengamat, langkah tersebut merupakan manuver politik Presiden Hugo Chavez untuk meraih simpati pemilih menjelang pemilu September nanti. Meningkatnya ketegangan diplomatik dua negara yang bertetangga itu terpicu tuduhan Kolombia bahwa Venezuela melindungi kelompok pemberontak di wilayahnya pekan lalu. Tuduhan tersebut memaksa Chavez membatalkan kunjungannya ke Kuba karena khawatir akan adanya serangan bersenjata oleh Kolombia. Chavez juga meminta Amerika Serikat menjauh dari isu krisis diplomatik tersebut. Menteri Kelistrikan Venezuela Ali Rodruguez menjelang kunjungannya ke Havana Senin lalu (26/7) menyatakan, tuduhan Bogota itu ngawur, terlalu vulgar, dan dalih yang dicari-cari untuk menyerang Venezuela. Chavez mengancam memutus suplai minyak ke AS  jika AS mendukung serangan Kolombia. AS beberapa kali menyatakan tidak ingin terlibat dalam aksi militer Kolombia ke Venezuela. Chavez memutus hubungan diplomatik dengan Bogota Kamis lalu (22/7) sebagai respons atas tuduhan Presiden Kolombia Alvaro Uribe. Dia menyatakan, pemberontak FARC telah membangun basis kekuatan dan melancarkan serangan dari dalam wilayah Venezuela. Presiden berhaluan kiri, anti-Amerika, Chavez menambahkan, kemungkinan terjadinya serangan militer oleh Kolombia lebih besar daripada yang pernah ada selama seratus tahun terakhir. Namun, sejumlah ahli politik melihat sikap tegas Chavez tersebut merupakan bagian manuver menjelang pemilu legislatif dua bulan mendatang. Analis Jose Vicente kepada Agence France Presse menyatakan, sang presiden sedang menggugah semangat para pendukungnya sambil mengalihkan perhatian masyarakat terhadap isu-isu dalam negeri ke konflik internasional. Pemilu parlemen kali ini akan menjadi momen penting bagi partai oposisi untuk menambah perolehan kursinya, setelah disingkirkan pada pemilu 2005. Oposisi menyebut, pemilu tersebut yang terburuk dalam sejarah karena tidak transparan. Negara Amerika Selatan tersebut tampaknya harus bersiap menghadapi ketidakpuasan publik atas terjadinya resesi ekonomi, tingginya inflasi, dan krisis energi yang tengah terjadi. Selain itu, pemerintah tengah menghadapi polarisasi politik dan konflik masyarakat urban. (cak/c8/dos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: