Tak Ambil Pusing, Karna Siap Tarung

Tak Ambil Pusing, Karna Siap Tarung

MAJALENGKA - Wakil Bupati Majalengka Dr H Karna Sobahi MMPd mengaku tidak ambil pusing mengenai polemik rancangan undang-undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Karna yang diproyeksikan bakal mencalonkan diri sebagai Bupati di Pilkada Majalengka 2018, mengaku siap menghadapi apapun sistem Pilkada nanti. “Saya tidak condong kemana-kemana, yang jelas itu kan polemik antar elit di tingkat pusat. Bagi saya, kalaupun nanti mau jadi peserta Pilkada, sistem apapun, mau dipilih langsung oleh rakyat, saya sudah pengalaman dua kali. Mau dipilih oleh dewan saya juga siap,” ujar Karna di sela pelepasan Jemaah Calhaj Majalengka, kemarin (10/9). Menurutnya, sistem apapun yang diputuskan DPR-RI terkait RUU Pilkada, kedua-duanya mencerminkan proses demokrasi. Karena sistem keduanya adalah memilih pemimpin, bukan pemimpin yang ditunjuk. Yang penting, kata dia, dari masing-masing sistem Pilkada ini, memberikan jaminan kepada rakyat, kepada DPRD, maupun kepada para peserta Pilkada dan penyelenggara Pilkada, agar tidak ada kolusi atau KKN, tidak ada main uang atau money politic. Dia juga tidak sepakat jika dalam sistem Pilkada langsung dipilih oleh rakyat, menimbulkan ongkos politik yang high cost. Karena pengalamannya menjadi peserta Pilkada berpasangan dengan Bupati H Sutrisno SE MSi, hanya menghabiskan cost politik yang murah meriah. Sebab menurutnya, pola kampanye mereka lebih mengerahkan tenaga untuk melakukan pendekatan kepada rakyat, dan meyakinkan rakyat untuk mendapatkan simpati dan akhirnya banyak yang memilihnya, daripada menghamburkan uang tidak jelas untuk menarik simpati rakyat. “Tidak benar kalau pilkada langsung itu boros biaya. Kalau dari pengalaman saya dan Bupati ikut dua kali Pilkada langsung, ternyata bisa menghemat cost politik. Hanya di bawah lima M (Rp5 miliar). Bahkan di Pilkada yang pertama cuma di bawah empat M (Rp4 miliar),” paparnya. Selain itu, sambung Karna, sistem apapun yang diterapkan dalam Pilkada nanti, tetap harus ada standar yang dipedomani untuk menentukan calon. Umpanya, mesti ada syarat tertentu supaya bisa menjadikan pemimpin yang berkualitas. “Sekarang kan (sistem Pilkada) belum sampai sempura. Siapa saja yang punya kekuatan uang bisa mencalonkan diri. Inilah sebabnya mengapa output dari Pilkada langsung, belum banyak kepala daerah yang memiliki kompetensi, dan kemampuan membangun daerah,” jelasnya. Selain itu, sambung Karna, plus minus lainnya, jika Pilkada dipilih oleh DPRD, juga tidak yakin 100 persen akan berkualitas. Karena nanti akan muncul potensi nego-nego KKN, membeli suara, macam-macam intrik politik, maupun deal-deal politik lainnya. Dia menyarankan, kalaupun nanti sistem Pilkada ditentukan dengan pemilihan voting melalui DPRD, yang ditonjolkan adalah proses bagaimana meyakinkan para anggota DPRD selaku pemilik suara, dengan komunikasi yang baik, bukan dengan intrik politik atau jual beli suara. Misalnya, dengan cara meyakinkan lewat proses penyampaian visi misi yang bagus dalam rencana membangun daerah. Meyakinkan kalau ketika terpilih nantinya, bisa tetap memaksimalkan tupoksi DPRD dari segi budgeting, pengawasan, maupun legislasi. Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Majalengka Supriatna SAg menyebutkan, jika mengacu dari segi anggaran, pihaknya menyebutkan realitas penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat memang lebih membutuhkan dana besar ketimbang Pilkada dipilih melalui DPRD. Hal ini, karena proses penyelenggaraan Pilkada langsung membutuhkan waktu dan proses selama berbulan-bulan, mulai dari tahapan persiapan, pencalonan, pemilihan, hingga pasca pemilihan. Oleh karenanya, wajar jika kebutuhan anggaran Pilkada langsung lebih besar. Dia menerangkan, jika pada pelaksanaan Pilkada pemilihan Bupati/Wakil Bupati (Pilbup) Majalengka 2013, anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan Pilbup satu putaran tersebut mencapai Rp16,3 miliar. Sedangkan, jika Pilkada dilakukan pemilihan voting di DPRD, dia tidak tahu berapa estimasinya. “Kalau kemarin waktu di Pilbup Majalengka, kita dapat alokasi anggaran dari APBD sebesar Rp16,3 miliar, itupun dikembalikan lagi Rp1 miliaran karena kelebihan estimasi. Kalau nanti ternyata sistemnya dipilih voting oleh DPRD, saya tidak bisa menaksir estimasinya, karena yang menyelenggarakannya bukan KPU, tapi Sekretariat DPRD,” imbuhnya. Terpisah, DPC Gerindra Kuningan sebagai partai penggagas KMP (Koalisi Merah Putih) sangat setuju jika ketentuan pilkada harus dipilih oleh DPRD sama-sama amanat konstitusi. “Secara kelembagaan, Gerindra Kuningan mengikuti alur kebijakan DPP. Kali ini saya sampaikan pendapat saya atas nama pribadi,” kata Ketua DPC Partai Gerindra Kuningan, H Dede Ismail SIP, kemarin (10/9). Dia menegaskan, dari berbagai perspektif pihaknya sangat setuju jika pilkada dilaksanakan DPRD. Dari segi efisiensi misalnya, para calon bupati, wali kota maupun gubernur, tidak akan menghabiskan dana yang fantastis. “Sepengetahuan saya calon bupati itu bisa menghabiskan dana sampai Rp50 miliar. Saya kira angka ini sangatlah besar. Kalau dibandingkan dengan penghasilan yang akan diperoleh, uang yang telah dikeluarkan tidak akan kembali,” ungkapnya. Karena tidak sebanding dengan penghasilan, Dede khawatir bisa memicu tindakan KKN. Ini berdampak buruk pada pembangunan lantaran anggaran pembangunan bisa saja terpotong untuk pengembalian modal. “Pilkada di DPRD pun saya kira mendukung program KPK. Karena bisa meminimalisasi dugaan praktik pidana korupsi oleh kepala daerah terpilih,” kata Dede. Menanggapi lontaran langkah mundur, justru dia mempertanyakan mundur seperti apa. Karena menurut Dede, secara legalitas para anggota dewan merupakan wakil rakyat. Sebagai wakil di parlemen daerah, para wakil rakyat menjadi kepanjangan tangan dari rakyatnya. “Tiap parpol juga kan punya struktur di tingkat kecamatan dan ranting. Jadi sah-sah saja karena kita itu dipilih oleh rakyat,” argumennya. Yang paling penting, menurut Dede, para kepala daerah itu terpilih bukan karena uang banyak yang dimiliki. Tapi justru karena ketokohan, dedikasi, kredibilitas, kapabilitas, kemampuan, intelektualitas, wibawa dan lainnya yang menjadi syarat pemimpin. “Jangan sampai orang yang tidak mengerti pemerintahan dan tidak berkualitas bisa dengan mudah jadi kepala daerah karena banyak uang. Jika praktik politik uang dibiarkan, apa yang akan terjadi dengan demokrasi Negara kita,” tandasnya. Indikasi ini kerap dijumpai dalam beberapa even pilkada. Ajuan gugatan ke MK akibat dugaan pilkada curang, tidak ada yang lolos. Wajar apabila beberapa pihak menduga adanya praktik suap dalam hal itu. Dengan dilaksanakannya pilkada di DPRD, pihaknya yakin ke depan MK tidak perlu lagi banyak menggelar sidang yang tak membuahkan hasil. Dia menjamin praktek uang tidak akan terjadi apabila digelar pilkada oleh DPRD. “Saya contohkan, misal KMP akan mengusung calon. Nanti dirapatkan dulu secara internal. Masing-masing mengajukan kandidatnya dan nanti bisa dibentuk panitia yang akan menyeleksi dengan cara fit and propertest. Nah yang muncul ini dipastikan sosok yang berkualitas, bukan karena banyak uang,” bebernya. Ia menduga, ketidaksetujuan para pihak itu berangkat dari ketakutan. Karena berdasarkan informasi yang diperolehnya, dari 34 provinsi di Indonesia, 31 provinsi di antaranya dikuasai KMP. “Saya kira ini bukan karena balas dendam. Kita normatif saja. Toh mau pilkadasung ataupun pilkada di DPRD, sama-sama konstitusional. Tinggal bagaimana mencermatinya secara dewasa,” ucap Dede. Justru dengan aturan pilkada di DPRD, kontrol legislatif terhadap kepala daerah bisa lebih maksimal. Jika kepala daerah memimpin tidak benar, maka bisa diberhentikan. Lain halnya kalau pilkadasung, DPRD sulit untuk menindak kepala daerah yang buruk dalam kepemimpinannya. Dede Ismail, Ketua DPC PKB Kuningan, Drs H Ujang Kosasih MSi justru menolak keras pilkada dilaksanakan oleh DPRD. Karena dengan pilkadasung sekarang ini rakyat sudah diberikan mandat oleh peraturan perundang-undangan untuk menyalurkan haknya dalam pemilu. “Dengan pilkadasung, hasilnya memiliki legitimasi yang lebih kuat. Soal efisiensi anggaran, itu ada ruang yang bisa diatur agar costnya tidak besar,” kata Ujang. Ditanya bagaimana pengawasan terhadap implementasi aturan tersebut, Ujang menyebutkan banyak lembaga ataupun elemen masyarakat yang bisa melakukannya. Seperti Bawaslu, masyarakat umum dan lembaga social yang konsen dan siap bersama-sama untuk mengawasi. Tingginya tensi konflik ketika memberlakukan pilkadasung, Ujang mengatakan pula, itu bagian dari kekurangan. Tinggal bagaimana kedepan berfikir untuk melahirkan solusi dalam pengurangan konflik. Upaya meminimalisasi konflik, bukan berarti menghilangkan hak prerogatif rakyat dalam memilih pemimpinnya. (azs/ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: