Banyak Pengemis Cuma Modus

Banyak Pengemis Cuma Modus

Sulitnya Menyelesaikan Masalah Sosial SEPERTI biasa, setiap Jumat, Wati (bukan nama sebenarnya) berangkat dari kediaman (enggan menyebutkan alamat) sekitar pukul 07.00 menuju Kota Sumber. Dengan mengenakan daster dan kerudung yang terlihat lusuh dan kumal, dia berjalan menelusuri jalan, sesekali dia naik kendaraan agar cepat sampai ke Ibu Kota Kabupaten Cirebon ini. Dia tidak sendiri, terkadang dia berangkat bersama rekan-rekan atau ditemani si buah hati yang masih berusai tiga tahun. Sekitar pukul 08.00, sampailah ia di Pasar Sumber. Dari sana, ia mulai berjalan menelusuri jalan Sultan Agung atau Jalan Dewi Sartika untuk mencapai pusat kota tersebut. Sambil berjalan menuju pusat kota, ia pun langsung melancarkan aksinya dengan menengadahkan tangannya kepada orang-orang yang ia temui. Tentu saja, aksi ini ia sudah lakukan sejak lama. “Sudah lima tahun saya mengemis,” ujar wanita yang mengaku berusia sekitar 30 tahun ini. Dari orang-orang yang ditemui, uang pecahan Rp500 sampai dengan Rp5 ribu, berhasil ia kumpulkan. Namun, uang yang ia dapat didominasi oleh pecahan Rp500 dan Rp1.000. Pecahan Rp5 ribu sangat jarang, kecuali orang yang ia temui adalah seorang dermawan. Komplek perkatoran pemerintah daerah menjadi sasaran empuk bagi Wati dan kawan-kawannya. Mengingat banyak warung makan dan masjid yang didominasi para pegawai negeri sipil (PNS), dari sana ia bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan mengharapkan belas kasihan pegawai dan pejabat. Hari Jumat, menjadi momen yang paling ditunggu. Pasalnya, hari tersebut merupakan hari yang paling baik untuk beramal dalam ajaran agama Islam. Oleh karena itu, ia dan kawan-kawan memanfaatkannya untuk mengais banyak uang. “Kami mengharapkan berkah di hari Jumat,” bebernya. Oleh sebab itu, lokasi yang paling empuk adalah lingkungan Masjid Agung Sumber. Mereka duduk-duduk di bawah tangga lantai dua masjid terbesar di Kota Sumber ini, dengan harapan ada yang mau memberikan lembaran uang yang bisa dibawa pulang. “Saya terpaksa melakukan hal ini, karena kebutuhan hidup yang begitu besar. Sementara suami bekerja serabutan, kadang dapat kadang tidak. Rasa malu saya buang jauh-jauh demi mempertahankan hidup, sampai saya rela anak dibawa sebagai bukti kalau memang kami sangat membutuhkan uluran tangan para dermawan,” ungkapnya. Mendengar sepenggal kisah Wati, tentu saja mengundang banyak keprihatinan. Kemiskinan, menjadikan Wati terjun sebagai pengemis. Hal ini tentu saja harus ditangani serius oleh pemerintah daerah sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 34 Ayat 1 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar diperlihara oleh negara,” dan pesan dari Sunan Gunung Jati “Insun Titip Tajug lan Fakir Miskin”. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Cirebon, jumlah keluarga miskin sampai dengan bulan Oktober sekitar 96.971 orang. Dari jumlah tersebut, hanya 325 yang tersentuh program penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dengan kurun waktu 2009 sampai dengan 2013. Sehingga masih ada sisa 96.646 keluarga miskin yang belum tertangani program tersebut. “Untuk tahun ini, sebanyak 21.852 keluarga miskin yang tertangani,” ujar Moh Sardar Ernedin SSos MM, Kepala Bidang Pengembangan dan Pemberdayaan Partisipasi Sosial Masyarakat, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon. Sementara, untuk pengemis yang berjumlah 505 orang, sampai dengan sekarang belum bisa ditangani atau tersentuh program tersebut. “Kami belum bisa menyentuh ke sana, karena pergerakannya yang nomaden, sehingga sulit untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka,” terangnya. Terkait banyaknya pengemis yang mangkal di sekitar wilayah komplek pemerintahan, dia mengaku kalau mereka rata-rata berasal bukan dari wilayah Kabupaten Cirebon. “Mereka itu biasanya dari wilayah Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Kalau pengemis lokal wilayah operasinya door to door ke rumah-rumah warga,” bebernya. Di tempat terpisah, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Cirebon, Drs Abraham Muhammad MSi mengakui, sampai dengan saat ini belum maksimal menangani pengemis. Alasannya, belum ada tempat penampungan yang ideal dan representatif untuk memberdayakan mereka pasca dirazia. “Ok, kita razia. Tapi setelah dirazia, mau kita apakan belum jelas penanganannya? Kalaupun dilepas ke daerah asal, tanpa ada penanganan serius, mereka akan kembali mengemis,” ucapnya. Ia pun menuturkan, adanya pengemis di berbagai lokasi yang ada di Kabupaten Cirebon, sebagian besar bukan asli warga Kabupaten Cirebon. Tapi, warga di luar Kabupaten Cirebon. Parahnya, mereka itu di-drop oleh salah seorang kordinator, sehingga mengemis ini hanya modus untuk mencari uang dengan cara instan. “Justru yang sedang kita incar adalah para koordinator pengemis,” tuturnya. Bila mengacu pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 34 Ayat 1, pemerintah harus hadir untuk menanggulangi persoalan ini, dengan cara mendirikan satu wadah atau balai untuk menampung mereka dan diberikan pembinaan agar tidak lagi terjun sebagai pengemis. Rabu (22/10) mendatang, akan ada MoU antara pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah di salah satu hotel di Kabupaten Kuningan penyangkut masalah pengemis dan gelandangan. “Dalam MoU tersebut, nantinya akan membangun satu balai untuk menampung mereka dengan jangkauan se-wilayah Ciayumajakuning plus Kabupaten Brebes,” katanya. Idealnya, keberadaan pengemis harus ditertibkan, karena mengganggu estetika tata kota dan kepentingan umum. Jika ingin beramal, masyarakat hendaknya lebih mengarah kepada pondok pesantren, panti sosial ataupun yayasan amal, sehingga dana yang disumbangkan jelas peruntukkannya dan mendatangkan manfaat. “Pengemis memang menggangu ketertiban dan keamanan, tapi kalau untuk merazia aturannya hukumnya belum kuat karena hanya mengandalkan Perda Kebersihan, Keamanan dan Ketertiban. Saat ini, kita baru mengajukan raperda ketertiban umum yang masih dibahas di dprd, didalamnya membahas soal pengemis,” ungkapnya. Untuk menangani pengemis, tidak bisa ditangani sendiri-sendiri, harus ada koordinasi antara dinas-dinas terkait, misalnya Dinas Sosial untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa menjadi pengemis itu tidak baik, kemudian dinas yang lain memberikan jalan alternative berupa program pemberdayaan penanggulangan kemiskinan. “Sosialisasikan gerakan lebih baik tangan diatas daripada tangan dibawah,” pungkasnya. (mohamad junaedi) //GRAFIS SULITNYA MENANGANI PENGEMIS VERSI SATPOL PP -          Sebagian besar bukan asli warga Kabupaten Cirebon. -          Para pengemis di-drop oleh seorang kordinator. -          Mengemis hanya modus untuk mencari uang dengan cara instan. -          Belum ada tempat penampungan untuk menampung yang terkena razia. -          Perlu kerjasama antar daerah untuk penanganan pengemis. VERSI DINSOS -          Jumlah keluarga miskin sampai dengan bulan Oktober sekitar 96.971 orang. -          Dari jumlah tersebut, hanya 325 yang tersentuh program penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dengan kurun waktu 2009 sampai dengan 2013. -          Masih ada 96.646 keluarga miskin yang belum tertangani program tersebut. -          Pemberdayaan pengemis sulit dilakukan karena pergerakannya nomaden.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: