Perda Mihol Menuai Pro Kontra

Perda Mihol Menuai Pro Kontra

Minta Toleransi Khusus Zona Pariwisata KUNINGAN – Keberadaan Perda 6/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Mihol terus menuai pro dan kontra. Kali ini datang dari Ketua Paguyuban Live Music dan Karaoke (PPLK) Kuningan, Hj Henny Rosdiana. Dia mengatakan, keberadaan perda tersebut seolah mau melakukan pembunuhan masal. Henny beralasan, dari 16 tempat hiburan yang ada di zona pariwisata, berhasil merekrut hampir 900 karyawan. Masing-masing dari mereka bisa menghidupi antara 5-6 orang anggota keluarganya. Sehingga jika ditotal, ribuan orang dihidupi dari tempat hiburan yang ada di zona pariwisata. “Kita tidak munafik, sejumlah tempat hiburan ini menjual mihol golongan A (kandungan alkohol 5 persen ke bawah, red). Itu dilakukan sejak dulu. Kafe saya sendiri (LG, red) sudah 17 tahun berdiri dan menjualnya. Dan ternyata tidak ada masalah,” kata wanita berkudung itu, kemarin (22/10). Dia menyebutkan, pengunjung asing seperti Korea, Taiwan dan Jepang, kerap mengonsumsi mihol golongan A. Menurutnya wajar, lantaran tempat hiburannya itu berada di kawasan pariwisata. Mereka tidak akan menyukai teh manis ataupun bajigur. Terlebih nanti bakal ada bandara yang dampaknya besar terhadap Kuningan sebagai daerah pariwisata. Henny melanjutkan, visi Kuningan yang dicanangkan ialah MAS (mandiri, agamis dan sejahtera). Untuk mandiri, selama ini dirinya selaku pengusaha mencoba untuk bersikap mandiri sampai merekrut ratusan pekerja. Bahkan tiap bulannya menyerahkan pajak 10 persen yang nanti akan dinaikkan menjadi 35 persen. “Untuk agamis, di Kuningan memang mayoritas beragama Islam. Sedangkan untuk sejahtera, mungkin nanti akan dihilangkan. Karena dengan diberlakukannya perda mihol, ratusan karyawan tidak akan terhidupi berikut ribuan anggota keluarganya. Kami merasa dibunuh karena tak mampu membayar karyawan kalau sekadar berjualan bajigur dan teh manis,” ungkap Henny. Pihaknya optimis, pemda akan merespons aspirasinya selaku pengusaha yang juga bagian dari masyarakat Kuningan. Terlebih dalam setiap bulannya kerap memberikan kontribusi PAD untuk daerah. Kewajibannya selaku pengusaha telah dipenuhi, giliran menuntut hak sebagai WNI dan juga masyarakat Kuningan. “Sebelum ada perda mihol, ada perda pariwisata yang mengatur pengelolaan tempat hiburan di zona pariwisata. Kafe Sera saja sampai saat ini belum selesai dibangun karena menaati SOP yang digariskan. Nah, kewajiban kita sudah dipenuhi, termasuk sedang mengurusi TDUP (tanda daftar usaha pariwisata), sehingga pajaknya naik jadi 35 persen. Untuk SIUP, SITU dan lainnya sih sudah ada sejak dulu,” bebernya. Henny berharap aspirasinya diakomodasi pemangku kebijakan. Karena ini berurusan dengan perut ribuan orang. Kalau memang perda mihol diklaim telah mengakomodasi kepentingan semua pihak, maka para pengusaha tempat hiburan pun, menurut Henny harus diakomodasi. “Waktu membahas raperda mihol, para pengusaha karaoke tidak dihadirkan kok. Begitu juga disparbud dan disperindag. Lantas di mana letak mengakomodasi kepentingan semua pihaknya?,” tanya Henny. Ditanya soal gugatan Pekat IB ke MA, dia memilih no comment. Untuk masalah itu, menurutnya, tinggal melihat kelanjutannya nanti. Henny hanya meminta agar aspirasinya sebagai pengusaha dan masyarakat Kuningan didengar. Ini merupakan permohonan terhadap keadilan serta kearifan pemangku kebijakan. Selain itu berkaitan dengan visi daerah Kuningan MAS. “Permohonan kami sederhana. Khusus di zona pariwisata bisa menjual mihol golongan A yang kandungan alkoholnya 5 persen kebawah. Kami sudah melayangkan surat resmi ke pemda sejak lama agar aspirasi kami didengar,” tukas wanita yang juga menjabat Kades Linggasana Kecamatan Cilimus itu. (ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: