Pemkab Hanya Kebagian Rp1 M
Gempur Desak Penandatanganan Ulang Penolakan Proyek Geothermal KUNINGAN – Ratusan massa Gempur (Gerakan Massa Pejuang Untuk Rakyat) melancarkan aksi unjuk rasa sebelum pelantikan pimpinan DPRD berlangsung. Seperti sebelumnya, Gempur menolak rencana pertambangan panas bumi (geothermal) di lereng Gunung Ciremai. Mereka menyuarakan ruginya rakyat dan pemerintah daerah atas pelaksanaan geothermal pascarevisi UU Panas Bumi. Selain rakyat akan kehilangan jutaan liter air per hari, kompensasi yang dihasilkan pun hanya sedikit. Itu karena tidak ada lagi prinsip bagi hasil, melainkan hanya bonus. “UU 21/2014 yang merupakan revisi dari UU 27/2003, tidak mengatur lagi soal bagi hasil. Yang ada hanya bonus. Untuk besarannya tergantung panjangnya lidah para pengusaha pemda dalam menjilat Chevron. Namanya bonus, mau dikasih Rp1 miliar atau Rp2 miliar, ya sudah,” tegas Ketua Gempur, Okki Satrio. Dalam UU lama diatur bagi hasil sebesar 66 persen yang dibagi untuk pempus, pemprov dan pemda. Kisarannya Rp24 miliar yang akan diperoleh Pemkab Kuningan. Namun dengan revisi UU tersebut, Okki meminta agar Pemkab Kuningan jangan mimpi untuk memperoleh pemasukan sebesar itu. Karena sistem bagi hasil diubah menjadi bonus. “Silakan Bupati dan Wabup jilat Chevron untuk mendapatkan bonus lebih besar. Yang jelas, kedatangan kami ke sini untuk mendesak DPRD agar mengadakan dialog publik yang melibatkan masyarakat di 158 desa, dan elemen masyarakat lainnya. Kita buat penolakan masal terhadap geothermal,” tegas Okki di sela aksi. UU Panas Bumi yang baru, lanjut dia, jelas merugikan rakyat juga Pemkab Kuningan sebagai tuan rumah. Karena telah melanggar prinsip desentralisasi. Berbagai perizinan, hingga izin usaha pertambangan ditiadakan. Yang ada izin proyek panas bumi yang di-takeover oleh Kementerian ESDM. “Ini merupakan konfirmasi antara pempus dan pemda. Pemda berpikir akan mendapatkan Rp24 miliar untuk masuk ke APBD. Saya katakan bodoh. Kita semua sudah dibohongi UU tersebut. Karena hanya istilah bonus, tidak ada acuan bagi hasil. Mau 1 M hatur nuhun, 2 M juga hatur nuhun,” sindirnya. Dalam tuntutannya, Gempur meminta agar dilakukan penandatanganan ulang penolakan atas proyek geothermal di wilayah Kabupaten Kuningan. Dia meminta kepada DPRD untuk merealisasikannya paling lambat 3x24 jam. Gempur juga mendesak untuk digelar dialog publik tentang ekses teknologi Fracking serta dampak dari revisi UU Panas Bumi terhadap kesejahteraan rakyat Kuningan. “Kami juga meminta agar jangan berkonspirasi untuk membunuh kesejahteraan rakyat,” tegas Okki bersama para orator lainnya. Bicara Fracking atau Hydraulic Fracturing, dia menjelaskan, merupakan teknologi yang digunakan Chevron dalam teknik pengeboran. Teknologi tersebut, menurut dia, ancaman terhadap ruang hidup rakyat dan bencana ekologis yang sangat mematikan. Karena teknologi ini akan menghabiskan banyak air. “Menurut catatan Dinas ESDM Jabar dalam presentasinya, 1.000 meter kubik per hari akan dihabiskan. Nah, kalau Gunung Salak Bogor yang terdapat 68 sumur injeksi, per hari akan menghabiskan 68 juta liter air. Jadi ini sebetulnya bukan hanya kepentingan Kuningan, tapi masyarakat Cirebon dan sekitarnya juga,” jelas Okki. Dijelaskannya, Fracking berdampak hancurnya Geyser (semburan air panas), gempa bumi minor yang kerap memicu gempa tektonik pada wilayah gunung berapi aktif. Bahkan teknologi tersebut merusak kualitas air dengan menyuntikkan fluida (air limbah bekas pengeborannya) jauh ke dalam hingga mencemari tendon tendon air bawah tanah dan merusak kualitas air bawah tanah. “Dalam beberapa kasus bahkan ditemukan adanya cemaran unsur arsenic dan boron yang mengontaminasi air bawah tanah,” ungkapnya. Dalam kasus Kamojang dan Darajat Garut serta kasus Kertasari Bandung, penurunan kualitas dan kuantitas air di bawah tanah mengakibatkan berubahnya tanah sawah menjadi tanah semak dan tumbuhan Salihara. Fakta ini jelas memerlihatkan teknologi ini secara perlahan membunuh daya dukung air dan tanah sebagai penyangga kehidupan seluruh rakyat. Sementara itu, pantauan Radar ratusan massa Gempur tiba di gedung dewan sekitar pukul 09.00 WIB. Mereka memasuki halaman gedung dewan tanpa halangan berarti dari aparat keamanan. Di halaman gedung wakil rakyat tersebut mereka membentangkan spanduk penolakan pertambangan panas bumi dan Chevron. Satu per satu, para orator menyuarakan aspirasinya menggunakan pengeras suara. Kedatangan mereka diterima langsung oleh empat pimpinan dewan yang hendak dilantik. Bahkan satu per satu ikut berbicara dalam menyikapi aspirasi yang disuarakan Gempur. Keempatnya sepakat untuk membahasnya nanti pasca alat kelengkapan dewan sudah beres. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: