Percepat Izin Lahan Relokasi Bencana

Percepat Izin Lahan Relokasi Bencana

Agar Nasib Pengungsi Tidak Terkatung-katung JAKARTA - Rampungnya izin penggunaan lahan negara untuk relokasi pengungsi Sinabung membuat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lega. Izin tersebut keluar hanya dalam waktu beberapa jam sejak ada perintah dari Presiden Joko Widodo. Jika ditotal sejak pengajuan, durasi perizinan berkisar 10 bulan. Pihaknya berharap tren perizinan relokasi lahan untuk bencana berikut­nya bisa lebih cepat lagi. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menuturkan, relokasi selalu menjadi pilihan terakhir saat bencana. Namun, ketika pilihan itu dijatuhkan, pihaknya kesulitan untuk mendapatkan lahan. Nasib pengungsi yang hendak direlokasi pun terkatung-katung. Sebagai contoh, relokasi korban tsunami Mentawai pada 2010 baru terealisasi menjelang 2013. Izin penggunaan lahan hutan produksi di Sumbar baru turun setelah diajukan 2,5 tahun. Kemudian, relokasi korban longsor Cilacap, Jateng, di lahan Perhutani baru bisa dilakukan setelah mengajukan izin 1,5 tahun. ’’Padahal, kami hanya butuh lahan 2 hektare,’’ tutur Sutopo. Terakhir adalah relokasi warga Pulau Palue, NTT, ke Pulau Flores sebagai dampak letusan Gunung Rokatenda. Relokasi batal dilakukan karena izin penggunaan lahan tidak kunjung turun. Setelah menunggu setahun, penduduk Pulau Palue berinisiatif kembali ke rumahnya karena tidak ada kejelasan relokasi. Pihaknya berharap persoalan izin tidak lagi menjadi kendala di masa yang akan datang. ’’Bencana alam tidak mungkin dicegah. Yang bisa dilakukan adalah mengantisipasi dampak yang ditimbulkan,’’ lanjut peneliti senior BPPT itu. Kecepatan izin akan memangkas waktu pengungsi tinggal di pengungsian. Otomatis, hal tersebut akan mampu menghemat biaya penanganan pengungsi yang harus dikeluarkan BNPB. Biaya yang dihemat bisa dialihkan untuk bencana lainnya. Sementara itu, pembangunan kampung baru pengungsi Sinabung memakan biaya cukup besar bila dibandingkan dengan relokasi penduduk di kawasan bencana lainnya. Bila biaya pembangunan rumah di lokasi bencana lain rata-rata Rp30 juta, untuk Sinabung, pemerintah harus mengeluarkan Rp45 juta untuk tiap rumah atau total Rp16,65 miliar. Desain rumah bertipe 36 itu saat ini masih diselesaikan Kementerian PU dan Perumahan Rakyat. Rumah untuk pengungsi akan terdiri atas ruangan-ruangan standar seperti dua kamar tidur, ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi. Meski kecil, rumah tersebut diklaim tetap memenuhi standar kelayakan. Sebab, rumah berdinding batako, berlantai semen, berangka beton, dan beratap genting. BNPB memastikan biaya tersebut klir karena sudah diaudit BPK dan pelaksanaannya diawasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sifat dana siap pakai membuat audit terhadap BNPB berbeda dengan kementerian lainnya. ’’Bencana tidak bisa diprediksi sehingga begitu kejadian, harus langsung cair dananya. Kalau pakai sistem kementerian, tidak akan selesai penanganannya,’’ tutur Sutopo. Audit baru dilakukan setelah penanganan bencana selesai. Atau, jika bencananya berkepanjangan seperti Sinabung, dilakukan periodisasi. Karena itu, pihaknya menggandeng BPKP dalam pekerjaan lapangan agar setiap penggunaan dana bisa dikonsultasikan saat itu juga. (byu/c10/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: