Program BPJS Dianggap Politik Anggaran

Program BPJS Dianggap Politik Anggaran

MAJALENGKA - Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Drs Edy Noor Sudjatmiko MSi menyatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Majalengka sudah menyetorkan premi kepada pihak BPJS. Akan tetapi, persoalan belum kunjung dibayarkannya iuran jaminan kesehatan tersebut karena program ini dianggap politik anggaran. Pasalnya, ini menyangkut hubungan keuangan pusat dan daerah. “Padahal seharusnya kas negara dari pemerintah pusat ini langsung memotong peruntukan dana bagi iuran jaminan kesehatan itu sebelum dialokasikan ke daerah. Ini sih seakan-akan otonomi di dalam daerah itu anggarannya cukup besar, padahal justru pemerintah pusat lah yang mendanai setiap daerah itu melalui anggaran APBN sangat besar,” jelasnya, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (13/11). Dijelaskan Edy Noor, ketika kas negara itu dialokasikan ke semua daerah namun pembayarannya malah dikembalikan lagi ke kas negara. Seolah-olah sama halnya dengan akuntansi bolak-balik khususnya bagi dana BPJS ini yang dianggap menimbulkan double account. Persoalan BPJS memang dianggap tidak ada masalah. Namun, hubungan keuangan pusat dan daerah lah yang bermasalah. Fakta kenyataannya misalnya, pemkab tidak diperbolehkan mengangkat pegawai secara bebas akan tetapi alokasi dana BPJS khususnya iuran malah dibebankan ke daerah. “Saya pastikan kalau pemkab itu sudah menyetorkan premi. Nilai rata-ratanya kami tidak tahu persis,” ujarnya. Pria berkacamata ini kembali menjelaskan soal mekanisme pembayaran iuran jaminan kesehatan yakni secara langsung gaji pegawai itu dipotong. Ini berdasarkan PP 28 maupun perpres nomor 12 di samping premi ada yang disebut pemberi kerja. Persoalannya, ketika premi sudah dipenuhi namun pemberi kerja yang dalam hal ini pemkab diwajibkan memberikan iuran. Ini yang kembali perlu diperjelas. Pasalnya, formasi, gaji pokok itu telah diatur oleh pemerintah pusat. “Ketika DAU di pusat ini harus dibayarkan seperti 3 persennya harus setor ke kas negara karena ini menyangkut persoalan hubungan keuangan pusat dan daerah. Belanja gaji pegawai kan masih didanai oleh pusat. Jadi jangan bebankan daerah harus menghitung lagi, dipotong langsung saja oleh pusat,” lanjutnya. Oleh karenanya, sistem ini harus ditata ulang dan diatur kembali. Pihak Pemkab Majalengka telah berupaya kalau desentralisasi ini mau dilaksanakan karena perlu ditinjau lagi. Upaya itu dengan menyurati dan berdiskusi dengan Komisi Yudisial. Sebab pusat telah mengatakan kalau ini adalah aturan. Ketika aturan bagi daerah tidak ada sanksinya, karena BPJS itu sebuah konsep dengan sumber dana dari APBN. Jadi sama halnya ini merupakan politik anggaran dan keuangan. Seakan-akan pendapatan negara besar. “Memang kurang pasnya bagi Kabupaten Majalengka yaitu tidak berkesinambungan dalam mengajukan nota keberatan ke pusat karena dalam perjalanannya malah berhenti. Pemda juga telah menempuh dengan mengajukan nota keberatan ini ke Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia),” imbuhnya. Persoalan tidak disertakan ke APBD ini karena pertimbangan-pertimbangan itu. Pihaknya menilai bukan hanya Majalengka saja tetapi, banyak kabupaten/kota lain yang belum menganggarkan sepenuhnya. Mengingat sumber pendanaan di daerah itu 80 persen dari pemerintah pusat. (ono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: