Produksi Garam Perlu Optimalisasi
SUMBER- Rencana pemerintah pusat menghentikan impor garam disambut positif oleh para petani garam. Sebab, Penghentian impor diyakini dapat meningkatkan kebutuhan masyarakat terhadap garam lokal. Sampai saat ini pertanian garam masih menggunakan cara tradisonal. Faktanya, hingga kini petani masih mengandalkan cuaca serta lamanya musim kemarau. Tahun 2014 saja, kemarau yang terlambat dengan durasi kurang dari empat bulan membuat jumlah produksi garam menurun. Bila impor dihentikan tanpa melalui pembenahan di sektor pertanian, kebutuhan garam sulit tercukupi. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Cirebon, Ir Ali Efendi MM mengatakan, tengah mempersiapkan langkah penunjang penghentian impor garam. Antara lain dengan optimalisasi teknologi tambak serta peningkatan kualitas garam. “Salah satu caranya dengan bekerja sama dengan BBWSCC untuk penyediaan air. Pada musim kemarau nanti diyakini kualitas garam akan meningkat dengan datangnya air yang lebih baik. Selain itu bantuan kepada para petani sudah ada termasuk peningkatan jumlah produksi agar tidak tergantung pada cuaca,” kata Ali, kepada Radar, kemarin. Ali mengaku, optimis peningkatan kebutuhan garam akibat penghentian impor dapat tercukupi oelh Kabupaten Cirebon. “Garam Cirebon bukan hanya digunakan di Jawa Barat tapi juga dipasok ke Jakarta sampai Surabaya,” terangnya. Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Garam Cirebon Moh Insyaf Supriyadi mengatakan dari 56 kilometer panjang pantai terdapat 23 ribu hektare lahan produksi garam. Hanya saja yang dinyatakan efektif hanya 16 ribu hektare. Cirebon yang menjadi sumber penghasil garam terbesar di Jawa Barat ini menghasilkan rata-rata 350 ribu ton per musim. “Nah untuk tahun ini memang musim kemaraunya agak telambat sehingga target memang tidak terpenuhi. Karena memang petani masih menggunakan metode tradisional,” kata dia. Menurutnya, selain jumlah produksi yang tidak menentu, pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah yakni peningkatan kualitas garam. Bahkan, kualitas garam lokal berada di bawah impor. Dari kandungan natrium klorida yang tetapkan yakni 94 persen, garam lokal hanya mampu memenuhi 88 hingga 90 persen. Warna garam lokal pun kurang putih dibanding garam impor. “Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Bagaimana meningkatkan kualitas garam. Garam kita tuh jenisnya garam krosok KW 2 dan 3. Sedangkan yang impor itu KW 1. Harganya pun beda, lebih mahal KW 1,” ungkapnya. (sam)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: