UU P3H Mengancam Masyarakat Tani

UU P3H Mengancam Masyarakat Tani

Kurang Menjerat Korporasi Perusak Hutan JAKARTA- Gugatan undang-undang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (UU P3H) terus meruncing. Minggu (16/11) Koalisi Anti Mafia Hutan (KAMH) menganalisa bagaimana dampak UU P3H tersebut pada masyarakat tani, lokal, dan adat. Hasilnya, ada sejumlah pasal, seperti 83, 84, dan 85 yang justru mengancam masyarakat dan tidak menjerat korporasi perusak hutan. Dalam Pasal 83 ayat satu huruf a UU P3H menyebutkan, orang perseorangan yang dengan sengaja memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan memiliki hasil penebangan hutan tanpa izin, serta tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan dipidana dengan penjara minimal satu tahun dan maksimal 5 tahun. Sekaligus, denda sedikitnya Rp500 juta dan maksimal Rp2,5 miliar. Peneliti Hukum Indonesian Corruption Wacth (ICW) Laola Easter menjelaskan, ketiga pasal UU P3H itu justru mencederai masyarakat. Pasal 84 lebih ironis lagi, untuk masyarakat yang membawa alat yang bisa digunakan membelah dan memotong kayu diancam pidana. \"Peraturan ini membuat masyarakat justru terkekang, kalau masyarakat yang tinggal ditengah hutan. Apakah tetap tidak boleh membawa alat sehari-hari yang bisa untuk memotong kayu,\" paparnya. Dalam pasal 85 yang menyebutkan bahwa dilarang membawa alat berat untuk mengangkut juga merupakan regulasi yang tidak tepat. Seharusnya, hal ini diterapkan pada korporasi, bukan pada masyarakat. \"Jelas sekali aturan ini mengarah pada masyarakat tani,\" paparnya. Padahal, lanjut dia, UU P3H pengganti UU 41/1999 tentang kehutanan ini, awalnya untuk mengoreksi UU kehutanan yang menjerat masyarakat. Namun, kenyataannya UU P3H ini juga sama saja. \"Dalam pasal 11, masyarakat yang tinggal di dalam hutan juga harus mendapat izin untuk menebang kayu, walau untuk kebutuhan sehari-hari. Ini masalah besar,\" tegasnya. Sementara Koordinator Pilnet Public Interest Lawyer Andi Muttaqien mengatakan, UU P3H ini juga tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tahun 2012. Sebab, putusan MK itu menyatakan Hutan Adat sudah otonom. Menurutnya, ada kewajiban bagi pemerintah untuk memperbaiki penataan sistem hutan di Indonesia, termasuk mekanisme klaim atau pengakuan hutan adat, karena ketidakjelasan tata batas kawasan hutan inilah yang menjadi pokok permasalahan. \"Itulah mengapa UU P3H ini tidak dapat menjawab permasalahan yang sudah ada,\" tuturnya. UU P3H pada dasarnya justru menunjukkan negara kasar atau abusive pada warganya, karena kewajiban negara untuk memperjelas tata batas kawasan hutan tidak dilakukan. Padahal sudah dimandatkan melalui putusan MK nomor 35 tahun 2012. \"UU ini gagal menindak korporasi besar yang merusak hutan, melainkan menyasar dan dan mengiriminalisasi masyarakat dan adat masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, padahal ada kelalaian pemerintah dalam prosesnya\" terangnya. Sebelumnya, KAMH yang merupakan gabungan dari Walhi, ICW, Elsam, dan masyarakat adat nusantara melakukan uji materil dan formil UU P3H. harapannya, MK bisa membatalkan UU tersebut secara keseluruhan. (idr)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: