Butuh Figur Penyelamat
Ketua DPC PDIP Sekarang Dinilai Gagal KUNINGAN – Saat ini dibutuhkan sosok yang mampu menjadi figur penyelamat partai untuk mengembalikan kejayaan PDIP di Kuningan. Bahkan figur yang nanti menduduki pucuk pimpinan partai moncong putih itu kelak, diharapkan bukan berasal dari kalangan legislatif maupun eksekutif. Hal ini ditegaskan Wakil Ketua DPC PDIP Kuningan Bidang Pertanian dan Peternakan, Sujono, kemarin (16/12). “Dibutuhkan figur penyelamat. Karena kalau tidak segera diselamatkan, partai ini bisa karam nantinya,” tegas politisi asal Kecamatan Darma tersebut. Penyelamat yang dimaksudkan, lanjut Sujono, yaitu figur yang mampu mengayomi semua kader dari berbagai tingkatan. Selain itu, figur yang bisa melakukan komunikasi politik ke dalam maupun keluar. Programnya pun jelas, memiliki misi visi dalam mengembalikan kejayaan partai, bukan untuk kepentingan pribadinya. “Saya tidak mau menyebutkan nama. Saya juga tidak bilang figur tersebut harus dekat dengan kekuasaan. Yang mau saya katakan, eksekutif dan legislatif ini kan diduduki oleh kader PDIP. Nah, seharusnya keduanya itu di bawah naungan ketua DPC. Komunikasinya harus jalan,” ucapnya. Untuk itu, pria yang akrab disapa Jono ini sepakat jika ketua DPC ke depan bukan dari kalangan legislatif maupun eksekutif. Melainkan harus diduduki oleh orang luar, sehingga bisa jadi penyeimbang dan segala programnya akan berjalan. “Saya contohkan, kalau eksekutif dan legislatif membuat perda, ya mestinya dibahas dulu di DPC. Nanti bisa dikomunikasikan. Sekarang kan kapan partai membahasnya?” ketus Jono. Dirinya enggan bicara soal terbelahnya pendopo dengan dalih jarang ke pendopo. Ia hanya berharap kabar tersebut tidak terjadi. Untuk itulah dibutuhkan figur di luar kalangan legislatif dan eksekutif. Karena figur luar, dalam merumuskan dan merealisasikan program-programnya lebih bersifat kemasyarakatan. Bukan program segelintir orang saja. “Sehingga program DPRD dan pemda bisa dirasakan oleh masyarakat. Seperti yang saya contohkan tadi, ketika hendak membuat perda penting, masyarakat lewat partai dapat dilibatkan dalam perumusannya, sehingga perda pun akan diterima masyarakat,” tandasnya. Itulah menurut Jono, pentingnya mengkaji ulang terhadap siapa figur yang akan memimpin PDIP ke depan. Sebab beban partai ke depan semakin berat dalam mengembalikan kepercayaan konstituen. Jangan sampai seperti sekarang, ketika sudah memiliki segalanya yakni eksekutif dan legislatif, tapi perolehan suara pemilu malah anjlok. “Mencalonkan itu memang hak setiap kader yang memenuhi persyaratan. Tapi harus dipikirkan lagi bagaimana dampak yang ditimbulkan atas terpilihnya figur tersebut. Mampu enggak mengembalikan kejayaan partai. Karena persaingan antarpartai sekarang ini semakin ketat,” ungkap dia. Yang mesti ditanamkan kepada semua kader, imbuh Jono, mau dibawa ke mana partai ini ke depan. Artinya, program dari calon tersebut harus jelas. Jangan sampai muncul janji-janji yang akhirnya malah diingkari. PDIP, menurut dia, bukan partai kemarin sore. Sehingga apa yang terekspose di media massa belakangan ini, dinilainya hanya menimbulkan kegaduhan saja. “Sebaiknya kalau masalah itu jangan dibuka di publiklah. Jangan buat kegaduhan. Yang harus dipikirkan bagaimana meraih simpati konstituen, paling tidak mengembalikan dari 10 kursi menjadi 14 kursi, jangan 17 kursi dulu. Nah, yang bisa melakukannya ialah figur yang punya misi bukan untuk pribadinya,” saran Jono. Kepemimpinan sekarang, menurut dia, dinilai gatot alias gagal total. Meski dengan berbagai dalih, tak bisa diterima oleh Jono. Sebab jika dibandingkan dengan Majalengka, dengan kinerja dan penggarapan yang berbeda, maka perolehan kursi malah bisa bertambah menjadi 18 buah. Kalaupun dianggap PDIP tetap menang di Kuningan, menurutnya, itu karena menang dari partai yang kalah. “Saya kira ini berlaku untuk semua partai. Koreksi diri diperlukan. Saya sebagai pengurus hanya ikut bersedih dan prihatin terhadap kinerja pengurus, sehingga kalau rapat pun terkadang saya datang dan terkadang tidak. Karena jika ada agenda rapat, diundang jam dua (sore, red), dimulai jam lima (sore, red),” kata Jono mencontohkan. Dia berpendapat, solid bukan berarti tak ada reaksi. Justru sebaliknya, jika diam tak bergerak dan cuek, itu dinilainya konyol. Lain halnya apabila diam tapi terus bergerak, menunjukkan kesuksesan. “Jadi bergerak itu kan dinamika, tapi bukan hanya omongan saja. Kuningan itu sebenarnya selalu aman dan kondusif dalam segala hal. Kalaupun muncul panas, paling hanya sebentar, hanya untuk mengesankan ada dinamika saja,” ujarnya. Seperti perang statemen yang muncul di koran belakangan ini, menurut Jono hanya muncul di kalangan elite partai saja. Namun mereka tak mampu memberikan koreksi yang jelas. Mereka, dugaan Jono, melakukannya karena masih berharap masuk pengurus pada periode selanjutnya terlepas siapa pun yang jadi ketua. “Memang saya juga sama menjabat wakil ketua DPC. Tapi saya berbicara seperti sekarang, tidak jadi soal kalaupun nanti tidak dimasukkan ke dalam struktur pengurus. Bagi saya sih yang penting berbuat apa,” pungkasnya. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: