Ibu, Didiskriminasi dan Dipuji

Ibu, Didiskriminasi dan Dipuji

SELAMA berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman: “surga di bawah telapak kaki ibu.” Tetapi pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Dia terlarang tampil di panggung politik yang ingar-bingar. Ketika di meja makan, ibu setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka kenyang. Ketika ia seorang istri, ia harus tunduk sepenuhnya kepada lelaki, suaminya. Ia tak boleh cemberut manakala suami bergairah terhadap tubuhnya, kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.” Pernyataan di atas saya kutip dari buku terbaru KH. Husein Muhammad (2014) yang berjudul, “Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan: Inspirasi Islam dan Perempuan.” Merinding hati ini manakala membaca dan merenungkan kembali kandungan makna pernyataan tersebut. Betapa benar, sebagai ibu (perempuan) dipuji, tetapi di saat yang sama mereka didiskriminasi. Perempuan seolah menjadi manusia yang ditakdirkan harus hidup penuh tekanan dan kekerasan. Entah sudah berapa kali terjadi kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dan dirasakan oleh para pekerja perempuan di luar negeri. Padahal, Islam tidak pernah membeda-bedakan setiap manusia, laki-laki maupun perempuan. Semua manusia di hadapan Tuhan sama, setara, tak selamanya laki-laki lebih utama dari perempuan atau sebaliknya. Laki-laki dan perempuan hanya bisa dianggap berkualitas hanya jika berbanding lurus dengan kualitas takwa kepada-Nya. Momen peringatan ibu yang jatuh setiap tanggal 22 Desember, sudah seharusnya kita maknai dengan hakiki. Ibu sepenuhnya seorang perempuan yang mulia, ia dianugerahi potensi dan kualitas yang sama seperti laki-laki untuk bersama-sama memakmurkan kehidupan di muka bumi. Sebagaimana makhluk sosial, laki-laki dan perempuan saling membutuhkan. Namun celakanya, perempuan dalam budaya patriarkhi dipandang sebagai manusia yang rendah, yang harus tunduk pada laki-laki. Nilai kepantasan dan kebenaran hanya bisa ditentukan oleh laki-laki. Karena itu, perempuan dilarang berkiprah di wilayah publik. Perempuan hanya boleh berkiprah di wilayah domestik yakni mengurusi rumah tangga dan anak. Istilah Ibu Rumah Tangga (IRT) adalah puncak dari budaya patriarkhi yang begitu akut itu. IRT selalu dianggap sebagai pekerjaan (pengabdian) yang amat mulia, pengabdiannya tidak hanya bernilai dunia, melainkan juga akhirat. Dalam konteks ini, para ibu (perempuan) selalu disanjung-sanjung dan dipuji untuk kemudian dininabobokan. Menjadi IRT, katanya, adalah kodrat perempuan. Balasannya istimewa, yakni surga. Lama saya gelisah dan merenung, dengan realitas kehidupan semacam ini. Apakah benar Islam memposisikan perempuan serendah demikian? Apakah benar IRT adalah kodrat perempuan? Mengapa laki-laki Muslim (suami) yang mengaku beragama malah doyan melakukan kekerasan? Mengapa juga dalih melakukan kekerasan terhadap istri itu dianggap sebagai tuntunan agama Islam? Kalau saja kita mau membuka sejarah Islam, maka kita akan menemukan fakta sejarah yang mengangumkan dan tentu saja bertolak belakang dengan realitas kehidupan yang timpang seperti sekarang. Saya akan menyuguhkan beberapa penggal kisah sejarah Islam tentang kehidupan para Muslimah yang berkeadilan itu. Pada masa Nabi, pernah terjadi insiden pelarangan bekerja kepada seorang Muslimah. Ia hendak bekerja di kebun kurma tetapi ada lelaki yang melarangnya. Nabi justru membela dan membolehkan Muslimah itu untuk melanjutkan pekerjaannya, “Petiklah buah kurmamu itu, agar kamu bisa bersedekah dan berbuat baik kepada orang lain.” Di lain kesempatan ada seorang Muslimah bernama Hawla Al-Attharah, ia merupakan Muslimah pebisnis parfum pada masa itu di Madinah. Ada juga Rithah binti Abdullah al-Tsaqafiyah, Muslimah yang menjadi pemilik sekaligus direktur sebuah pabrik. Zainab binti Jahsy adalah Muslimah pengusaha yang sukses. Apalagi para istri Nabi; Khadijah dan Aisyah, keduanya adalah puncak dari Muslimah teladan yang telah mampu membuktikan berkiprah di wilayah publik dengan mengesankan. Melalui memon hari Ibu ini, sudah sepatutnya kita memuliakannya. Bukan dengan memaksa ‘merumahkannya’, bukan dengan merendahkan, apalagi berlaku kekerasan. Perempuan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki. Istri sama mulia dengan suami. Mengurus rumah tangga adalah kewajiban keduanya, bukan mutlak seorang istri saja. Pun dengan mendidik anak, ia merupakan tugas suami dan istri. Berhasil atau tidaknya mendidik anak akan bergantung pada pola pendidikan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya; Ayah dan Ibunya. Terakhir, mengapa kita harus memuliakan para ibu dan perempuan? Karena Allah, Nabi, dan Islam memuliakannya. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada orang memuliakan perempuan, kecuali orang yang mulia. Dan tidak ada orang yang menghinakan perempuan kecuali orang hina.” Kita mesti memahami kodrat perempuan itu apa. Kodrat perempuan (Ibu) hanya teradapat pada 5 (lima) lingkup ini; menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan menopause. Selain 5 hal tersebut, bukanlah kodrat perempuan. Selamat hari Ibu! Wallahua’lam bis-Shawab. (*) *) Penulis adalah kandidat Master Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: