Belajar Otodidak, Sudah Melahirkan Lima Buku
Lebih Dekat dengan Sobih Adnan, Sastrawan Muda Cirebon Ekspresi adalah sebuah wujud pengejewantahan perasaan, emosi, hasrat dan keinginan setiap insan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Banyak cara untuk melukiskan ekspresi, termasuk lewat karya sastra. MOHAMAD JUNAEDI, Astanajapura KARYA sastra sebagai manifestasi ekspresi manusia akan berkembang dengan baik, bila didukung lingkungan yang memberikan kebebasan manusia untuk berbicara di ruang publik. Hal itu yang membuat seorang Sobih Adnan tertarik akan sastra dan melahirkan sejumlah karya. “Sastra adalah ruang kebebasan yang bisa diupayakan oleh setiap orang, terutama dalam menyuarakan hak. Sastra menjadi media alternatif, bila mengungkapkan gagasan melalui unjuk rasa dan karya tulis ilmiah dilarang,” kata penyair yang pernah mondok di Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadi-Ien (MTM) Kempek Cirebon. Sobih bisa dikatakan sebagai salah satu penggiat sastra asal Kabupaten Cirebon yang tergolong muda. Tapi, berbicara karya, untuk pria seumuran dia tergolong cukup banyak. Ini dibuktikan dengan lima buku yang sudah dicetak, antara lain Kumpulan Puisi Liliput (2007), Nyanyian Gagang Telepon (2009), Cerita Rakyat Tifa Nusantara (2012), Kumpulan Puisi 100 Penyair Nusantara (2013) dan Lamar (2013). Tidak hanya buku, ia pun aktif menulis esai, puisi, cerpen diberbagai media cetak nasional dan portal, blog serta website PBNU. “Saat ini saya tengah menggarap novel yang bertemakan kehidupan pesantren dan menggarap sebuah riset tentang sastra. Insya Allah untuk novel tahun depan bisa diterbitkan,” kata pria yang mempunyai nama seni Obic Adnanie ini. Ketertarikan Sobih dalam dunia sastra dimulai dalam sebuah momentum ketidaksengajaan. Awalnya, ia hanya ingin mencoba mencorat-coret pengalaman hidupnya ke dalam sebuah buku agenda. Setiap adegan yang dialami dalam kesehariannya ia coba catat. Perasaan yang bergejolak ia coba tuangkan dalam berjuta-juta kata, hingga akhirnya tanpa ia sadari tengah memulai sebuah goresan karya sastra. “Saya sangat menikmati kesusastraan dan ruang berpikirnya tidak terbatas, manakala saat tengah bercumbu dengan pengalaman. Setiap pengalaman yang mendorong saya untuk menulis dan terus menulis,” ungkap ayah dari seorang putri mungil bernama Pesona. Dari pengalaman menulis secara otodidak, membuat penyair yang dilahirkan di Desa Japurabakti, Kecamatan Astanajapura berusaha mencari-cari komunitas penyair, khususnya dari kalangan pesantren. Dia juga aktif di komunitas seniman santri, lembaga kebudayaan mahasiswa Rumba Grage ISIF Cirebon. Kemudian, dari komunitas itu, ia akhirnya menemukan rekan-rekan sesama penyair dari berbagai tanah Jawa. Kemudian, ia pun mencoba belajar menulis puisi, novel, cerpen dan esai. “Saya belajar menulis sastra dari berbagai kursus di Jakarta dan intens melakukan komunikasi dengan para penyair senior. Selebihnya, saya belajar otodidak,” bebernya. Sebagai seorang penyair, tema-tema yang sering ia angkat lebih didominasi tentang romansa percintaan. Cinta menjadi inspirasi utama ketika ia membuat sebuah puisi, sebab gelora cinta pada jiwa-jiwa muda masih membara dan lebih diterima oleh kalangan muda pesantren. Kebiasaannya menulis surat kepada lawan jenis, membuatnya pandai menggubah kata-kata menjadi indah, dengan harapan si perempuan menjadi tertarik. Hal itu terbawa saat menciptakan puisi. Kemudian, untuk esai, dia lebih tertarik pada tema-tema tentang realita yang terjadi di masyarakat. “Cinta harus diungkapkan secara luas, saya akan terus mengembangkan itu walau memang manfaatnya tidak begitu nampak,” terang penyair yang pernah diberi kesempatan untuk membacakan puisi di Wahid Institut. Sebagai seorang penyair muda, ia mencoba berbagi pengalaman kepada sesama rekan-rekan muda yang tertarik dengan dunia kesusastraan. Untuk menjadi seorang penyair yang handal, hal utama yang harus dilakukan adalah mencoba menjadi diri sendiri. Walaupun, setiap penyair mempunyai idola masing-masing, tapi orisinalitas karya sastra harus dimiliki seorang penyair, karena hal itu bisa menjadi ciri khas. “Saya pribadi menyukai Mahbud Junaedi atau Goenawan Muhammad, tapi saya tidak perlu meniru gaya dia dalam menulis. Kita harus berani menerobos apa yang menjadi kekurangan mereka,” jelasnya. Begitu juga persoalan mazhab, setiap penyair muda tidak usah pusing dengan mazhab tentang sastra. Justru hal ini akan menjadikan penyair yang baru memulai belajar akan kerdil. Semua mazhab sastra harus dipelajari dan didalami, sehingga akan memunculkan banyak khazanah kesusastraan. “Seorang penyair akan tergolong kedalam salah satu mazhab akan terasa dengan sendirinya, sesuai dengan karakteristik dan gagasan yang ia ketengahkan,” ungkapnya. Sebagai penyair yang lahir dan dibesarkan di Cirebon, ada keinginan besar agar kesusatraan di Cirebon berkembang pesat dengan dimensi dan dinamikanya. Walau, ruang untuk mengekspresikan sebuah karya sastra masih tergolong jarang, bukan menjadi alasan untuk berhenti menciptakan karya sastra. “Saya kira Cirebon punya potensi yang sangat besar. Makanya, saya sangat semangat apabila diundang oleh sekolah atau komunitas kampus untuk berbagi pengalaman tentang menulis sastra, sebab itu media tranformasi kita agar lahir sastrawan muda,” pungkasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: