Fenomena Muludan di Kota Cirebon

Fenomena Muludan di Kota Cirebon

Oleh : Indra Yusuf Setiap tanggal 12 Rabiull Awal kita memperingati Maulid Nabi. Di Kota Cirebon Maulid Nabi lebih  populer dengan sebutan Muludan. Peringatan Muludan di Kota Cirebon terpusat di beberapa tempat di antaranya Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Di kedua keraton tersebut pada bulan maulid banyak sekali dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah, yang tentunya juga menarik para pedagang untuk berdagang di sekitar keraton tersebut. Sehingga selama ini atmosfer tradisi Muludan lebihidentik dengan suasana pasar tahunan. Tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun silam ini agaknya terlanjur memiliki daya tarik ekonomi yang lebih kuat dibanding daya tarik religiusitasmya. Sehingga makna Muludan seakan telah mengalami pergeseran dari ritus keagamaan menjadi sekadar pasar tahunan yang dikemas dalam tradisi budaya. Ibarat pepatah ada gula ada semut, di mana masyarakat berkumpul maka daya tarik ekonomi akan berkembang pula di sana. Di wilayah Cirebon sendiri sebenarnya keramaian muludan tidak hanya ada di Kesepuhan dan Kanoman saja, melainkan ada juga ada tempat lain seperti Desa Trusmi, Desa Tuk dan Desa Astana Gunung Jati. Sebenarnya menurut sejarah peringatan Maulid Nabi pada awalnya bertujuan untuk membangkitkan semangat umat Islam yang sedang bertempur. Karena waktu itu umat Islam sedang mengahadapi Perang Salib atau The Crusade. Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang pertama kali yang mengimbau agar umat Islam di seluruh dunia memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW yakni pada tanggal 12 Rabiull Awwal dengan tujuan membangkitan gairah umat Islam. Pada waktu itu salah satu kegiatan yang diadakan Sultan Salahuddin dalam peringatan Maulid Nabi pertama kali (tahun 1184 M atau 580 H) yakni dengan menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat nabi beserta puji-pujian bagi Nabi Muhammad SAW dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Akhirnya pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji yang kemudian karyanya dikenal sebagai Kitab Barzanji yang hingga sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi (Khoirul Anam : 2007). Sementara dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan Wali Songo sebagai sarana dakwah. Dengan berbagai kegiatan yang dikemas secara menarik namun didalamnya bertujuan agar masyarakat mau mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Agama Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten. Di Cirebon sendiri Sekaten diabadikan sebagai nama seperangkat gamelan peninggalan putri Sunan Gunung Jati. Gong Sekaten dan perangkat gamelan lainnya dikeluarkan dari penyimpanan setahun sekali untuk di mandikan di musala Kanoman yakni pada saat peringatan Muludan. Peringatan Maulid Nabi yang di rasa masih memegang teguh nilai religiusitas hanya dapat kita ditemukan di pedesaan atau daerah pesantren. Itu pun komunitasnya semakin berkurang. Biasanya kegiatan yang dilakukan berupa pembacaan kitab barzanji atau debaan di masjid atau musala. Seharusnya Muludan sebagai sebuah perpaduan nilai-nilai agamis yang tumbuh dan berkembang, saling mengisi dan melengkapi, akan terus dapat terpelihara dan diminati masyarakat. Dalam pandangan Geertz diungkapkan, bahwa sistem kepercayaan dan praktek upacara agama dapat memunculkan berbagai jenis kebudayaan yang saling terkait dalam suatu sistem sosial; masyarakat, pasar dan pemerintah. Selanjutnya hal ini berakibat menumbuhkan kutub ekonomi perdagangan melalui interaksi sosial-ekonomi dalam wujud pasar tahunan Muludan. Demikian halnya dengan Muludan di Cirebon yang pada awalnya merupakan salah satu bentuk syiar Islam yang dilakukan pihak keraton untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tampaknya nilai dari tradisi Muludan yang ada dalam pemahaman masyarakat luas saat ini cenderung tampak dari sisi ekonomi dan pariwisatanya saja. Terlihat banyaknya para pengunjung yang datang hanya untuk makan dan berbelanja saja tanpa memahami sejarah dan nilai yang terkandung di dalamnya. Lebih dominannya segi ekonomi dan pariwisata bagi pandangan para pengunjung didukung oleh kehadiran para pedagang kakilima yang datang dari berbagai daerah bahkan ada juga yang dari luar pulau Jawa. Para pengunjung bahkan kadang tidak menyempatkan diri untuk masuk ke dalam lingkungan keraton. Mereka mungkin enggan masuk keraton, karena pada umumnya para pedagang terkonsentrasi di sepanjang jalan menuju Keraton Kesepuhan dan Kanoman, sehingga jalan menuju keraton padat. Mulai dari pedagang makanan khas (seperti ; docang, empal gentong, tahu petis, sega jamblang, lengko dan lain sebagainya ) hingga pedagang pakaian, keperluan rumah tangga dan cenderamata semuanya berbaur di sini, bahkan sampai masuk kedalam lingkungan keraton. Event Muludan yang memiliki daya tarik ekonomi dan pariwisata yang potensial dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan perekonomian masyarakat jika dibinakembangkan secara terpadu. Kita dapat melihat para pengunjung yang datang dari berbagai daerah dengan sengaja untuk menikmati keramaian muludan. Fenomena ini tentu menunjukan betapa momen muludanmemiliki potensi daya tarik ekonomi- pariwisata yang luar biasa. Ini merupakan aset budaya sekaligus potensi ekonomi-pariwisata yang dapat dikembangkan. Apalagi jika muludandapat dikemas menjadi kegiatan wisata religi, budaya serta kuliner tahunan yang terprogram. Kita ketahui bersama wilayah di sekitar Cirebon banyak memiliki sentra-sentra industri kerajinan rakyat. Seperti batik trusmi, lukisan kaca, alat musik rebana ataupun industri yang berupa makanan khas yang dapat dijadikan komoditas unggulan untuk menunjang ekonomi kerakyatan. Pada saat Muludan merupakan momen yang tepat untuk media promosi sekaligus pemasaran terhadap komoditas tersebut. Tanpa perlu jauh-jauh kita memperkenalkan produk unggulan yang dihasilkan keluar daerah. Karena pengunjung muludan juga banyak yang berasal dari luar daerah dan sudah menjadi agenda rutin. Tentunya Dinas Pariwisata juga dapat memanfaatkan event Muludan untuk mempromosikan daerah tujuan wisata yang ada di Cirebon, baik wisata budaya, pesona alam maupun wisata kulinernya. Saat ini yang kita rasakan sektor pariwisata Kota Cirebon masih lesu. Banyak potensi-potensi pariwisata di Kota Cirebon yang belum tergarap dengan baik. Lebih ironsinya lagi banyak situs-situs sejarah yang terlantar tidak terurus seperti Situs Gua Sunyaragi yang kondisinya sangat memprihatinkan. Di samping memperkenalkan dan menggali potensi objek wisata yang ada, Dinas Pariwisata dan instansi terkait dapat juga memperkenal budaya-budaya asli daerah melalui pagelaran atau pertunjukan seni. Selain muludan tentunya masih banyak event lain yang dapat dijadikan daya tarik ekonomi wisata bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya seperti: Nadran (pesta laut), upacara Ngirab (dilaksanakan Hari Rabu akhir Bulan Safar), Kliwonan (setiap malam Jumat Kliwon di Gunung Jati) dan Syawalan sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri. Semuanya itu merupakan potensi yang dapat digarap oleh pemerintah Kota Cirebon dan instansi yang terkait. Sehingga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan khususnya tingkat daya beli bagi seluruh warga masayarakat Cirebon di masa mendatang. (*)     *) Penulis adalah alumni UPI Bandung, Korwil AGP-PGRI Jabar. Warga Jl. Majalengka No. 11/B7 Nuansa Majasem Kota Cirebon 45135.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: