Komunitas PSK Terus Berkembang
Muncul Tante Girang, Lesbian, dan Gay KUNINGAN – Komunitas propaganda seks di Kuningan tak hanya mengerucut pada pekerja seks komersil (PSK). Beragam nama mulai banyak bermunculan seperti tante girang, lesbi dan gay. Layaknya PSK, mereka juga berkembang karena adanya pelanggan. “Jangan salah, selain PSK marak juga komunitas lain. Saya pribadi yang pernah terjun ke dunia kelam merasa prihatin dengan kondisi saat ini,” ucap pria lajang yang pernah terjerumus ke dunia prostitusi di Kuningan, kemarin (13/1). Pria yang sering dipanggil Aa ini mengakui, jumlah PSK by phone jumlahnya terus meningkat. Selain menggunakan hotel sebagai tempat transaksi, juga kerap menggunakan kos-kosan. Dulu, lanjut dia, dari 20 anak buah yang dimiliki, setiap harinya selalu ada yang mem-booking. Adapun tarif yang ditawarkan minimal Rp300 ribu untuk short time. Dari 20 anak buahnya, semua warga Kuningan. Bahkan tidak sedikit profesinya sebagai PSK diketahui oleh orang tua masing-masing. Bahkan, yang memprihatinkan, yang terjun ke dunia kelam berasal dari kalangan pelajar, minimal tinggkat SMP. “Saya berbisnis seperti ini karena ada pelanggan yang minta,” ucapnya pria yang sebentar lagi bakal melepas lajang itu kepada Radar. Aa menyebut, pelanggan yang datang menghubunginya beragam, mulai dari pengusaha, pejabat, hingga warga biasa. Terkadang mereka janjian terlebihi dahulu dengan cara makan bersama. Cara ini dilakukan untuk melihat apakah cocok atau tidaknya dengan PSK yang akan di-booking. Diterangkannya, pelanggan yang mem-booking kebanyakan “dieksekusi” di hotel. Alasannya, di hotel lebih aman, terlebih kalau hotelnya berbintang. Selama menjadi “papah” bagi 20 orang PSK, kata Aa, ada tiga faktor yang membuat mereka terjerumus, yakni masalah ekonomi. Tapi setelah diperhatikan faktor ini hanya menyumbang 10 persen. Kemudian, faktor gaya hidup yang membuat mereka mau menjadi PSK. Sebagai contoh, ketika mereka ingin memiliki barang berharga seperti ponsel, tas, dan pakaian modis maka solusinya dengan menjual tubuh. Faktor ini mencapai 40 persen. Sedangkan faktor yang terakhir adalah frustrasi karena pernah dicampakkan oleh sang pacar setelah keperawannya direnggut. Mereka berpikir, daripada berhubungan badan gratis, lebih baik menjual diri dan mendapatkan uang. “Ada dua keuntungan yang diperoleh oleh PSK, yakni dapat uang dan mendapatkan kenikmatan karena mereka juga sangat menikmati seks,” tandasnya Aa. Aa menjelaskan, meski mereka mendapat uang, tetap saja habis. Sebab digunakan untuk mendukung penampilan dengan cara membeli baju, kosmetik dan juga ke salon. Menurutnya, dengan kondisi seperti ini, jangan heran kalau PSK banyak yang sengsara setelah mereka tidak laku lagi. “Ini bukan cerita bohong namun terbukti,” tegas Aa. Karena merasa berdosa dengan profesi PSK, maka mereka memutuskan untuk berhenti. Mengenai nasib 20 orang PSK-nya, Aa menyebut kebanyakan memilih pergi ke luar Kuningan. Mereka tetap menjadi PSK, ada yang di Bali, Pemalang dan juga ada yang di Kuningan. “Saya tetap berhubungan baik dengan mereka. Dan, mereka yang di Kuningan tetap melayani pelanggan karena sudah ada link-nya,” jelas Aa. Kalau seperti ini, lanjut dia, tinggal mencari link dan menghubungkannya saja. Begitu juga untuk tante girang dan lesbi. Untuk mengetahui mereka cukup sulit, kecuali yang ada dalam lingkaran prostitusi. Sementara itu, mantan Anggota DPRD Kuningan, Saipudin SSi mengaku, dengan maraknya prostitusi saat ini, yang ditunggu oleh warga adalah action dari pemerintah. Kalau hanya dibicarakan tanpa ada tindakan, sama saja bohong. “Menyimak pemberitaan PSK, saya lihat belum ada tindakan riil dari pemerintah. Apakah langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak mau di-publish ke media atau tidak,” ucap kader PKS itu. Mengenai PSK, Saipudin melihat sendiri bahwa di Kuningan bisa dibilang banyak. Sebagai bukti, untuk kelas PSK yang murah mereka kerap mangkal di Pasar Langlangbuanda dan semua orang mengetahui hal tersebut. (mus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: