Ekspedisi Sunan Gunung Jati (1)

Ekspedisi Sunan Gunung Jati (1)

\"\" Karir Pertama Mengislamkan Bumi Padjadjaran Pengap bercampur asap rokok, bau keringat, duduk berdesakan, suara gitar pengamen dengan nada sumbang, dan kemacetan, mengiringi perjalanan Wartawan Radar Cirebon, Husain Ali, menjalani Ekspedisi Sunan Gunung Jati di Jawa Barat dan Banten. Perjalanan eskpedisi dimulai dari Banten. SYEKH Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati masyarakat mengenal, merupakan salah satu wali songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Berkat ketokohan dan kepemimpinan Sunan Gunung Jati yang muda dan bersahaja, masyarakat Jawa Barat sebelumnya dalam pengaruh kekuasaan Kerajaan Padjajaran, yang menganut Hindu Animisme, menjadi mayoritas muslim sampai sekarang. Ekspedisi Sunan Gunung Jati mencoba mengidentifikasi mata rantai perjalanan sang wali dalam menyiarkan agama Islam di bumi Padjajaran. Banten menjadi kota tujuan pertama dalam ekspedisi ini. Perjalanan dimulai dari Cirebon menuju Banten menggunakan bus ekonomi, Sabtu (12/11). Perjalanan pertama menghabiskan waktu sekitar delapan jam, dari Cirebon pukul 12.30 sampai di Banten, tepatnya di Kota Serang, pukul 20.30. Cukup melelahkan bagi seseorang yang tidak terbiasa melakukan perjalanan panjang. Minggu pagi hari (13/11), Ekspedisi Sunan Gunung Jati yang pertama dimulai. Saat memasuki kawasan Banten Lama, tepatnya Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, mudah menemui puing-puing kebesaran Kesultanan Banten masih tampak tersisa. Sebagai kota tua, banyak peninggalan arkeologi sisa kebesaran Kesultanan Banten yang sarat dengan nilai sejarah. Sayangnya sisa-sisa kebesaran itu kurang terawat dengan baik. Meski hanya tinggal puing-puing, Keraton Surosowan dan Keraton Kaibon contohnya, menjadi saksi bisu dan bukti sejarah kedaulatan dan kebesaran Kesultanan Banten. Kebesaran Kesultanan Banten dari masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin, sultan pertama memerintah (1552-1570), sampai Sultan Muhammad Rafiudin sekitar 1813-1816, tidak lepas dari kebesaran Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah peletak pertama Kesultanan Banten. Selain sebagai orang tua dari Sultan Maulana Hasanudin, Sunan Gunung Jati juga merupakan peletak dasar corak Islam Kesultanan Banten. “Eyang Syarif itu orangnya bersahaja. Berbaur dengan masyarakat. Makanya pesannya titip tajug lan fakir miskin. Yang memiliki filosofi tinggi dalam makna agama maupun kehidupan sosial,” kata Tubagus Ismetullah Al-Abbas, ketua Kenadziran Kesultanan Banten, saat ditemui Radar di rumahnya. Selain dekat dengan masyarakat Ismet mengatakan, keberhasilan Sunan Gunung Jati dalam berdakwah di Banten karena sangat menghargai kearifan lokal, contohnya, tradisi rebo wekasan. Menurut Ismet, dalam masa Hindu Animisme, setiap rebo wekasan ada tradisi sesembahan di perepatan jalan atau tempat yang dianggap memiliki kekuatan. “Karena rebo wekasan (akhir bulan safar, red), dianggap bulan turunnya bala atau penyakit,” katanya. Saat Syekh Syarif berdakwah agama di Banten, lanjut Ismet, Ismet membiarkan tradisi itu berlangsung. Namun melalui pembacaan sejarah nabi maupun pembacaan Alquran tanpa menghilangkan  tradisi rebo wekasan. “Yang semula di perempatan jalan beralih ke masjid. Sehingga karena toleransi Syekh Sayrif dalam berdakwah. Masyarakat kemudian simpatik terhadap Islam,” tuturnya. Menurut Ismet, Sunan Gunung Jati memiliki trah keturunan bangsawan dari Mesir dan Padjajaran. Dari  nasab bapaknya, Sunan Gunung Jati, putra dari Maulana Sultan Muhammad, yang bergelar Syarif Abdullah dari Suku Bani Hasyim, putra Nurul Alim yang memerintah Kota Ismailiyah dan Palestina. Sementara garis keturunan ibu, Sunan Gunung Jati, putra dari Nyi Mas Rarasantang atau Syarifah Mudaim, putra dari Prabu Siliwangi, penguasa Padjajaran. Ismet mengatakan berdasarkan riwayat, Sunan Gunung Jati lahir di tanah bapaknya sekitar taun 1450 M. Setelah usia sudah beranjak dewasa, Sunan Gunung Jati berkelana mencari pengetahuan agama ke beberapa ulama di Makkah, Madinah, Bagdad, dan tempat lainnya. “Diperkirakan sampai berusia 25 tahunan. Setelah ayahnya wafat, Eyang Syarif tidak mau menggantikan posisinya. Tapi bertolak ke Jawa untuk menemui uwaknya, Walangsungang,” katanya. Kemudian saat itu lanjut Ismet, perjalanan dimulai, dari tanah arab menuju Jawa berlayar melalui jalur Gujarat, kemudian Malaka, dan sampai akhirnya singgah ke Banten. “Dalam perjalanan itu, Syekh Syarif bersinggah baik dalam waktu lama maupun sebentar. Kapan tahunnya, saya kurang jelas,” katanya. Saat Sunan Gunung Jati berlabuh di Banten, lanjut Ismet, masyarakat sebagian sudah ada yang muslim. Hal itu menurutnya berkat dakwah yang dilakuakan Raden Rahmat atau yang kemudian hari dikenal dengan Sunan Ampel. “Dari situ Sunan Gunung Jati tertarik dengan metode penyiaran Raden Rahmat. Sunan Gunung Jati kemudian ke Ampel Denta, Jawa Timur, untuk mempelajari lebih detil bagaimana caranya menyiarkan agama di tanah Jawa,” katanya. Selanjutnya kata Ismet merujuk dalam riwayat, Sunan Gunung Jati diangkat oleh dewan wali sebagai salah satu dari wali songo yang bertugas menyebarkan Islam di tanah Jawa Barat. Kemudian saat itu Sunan Gunung Jati menemui Walangsungsang yang bergelar Pangeran Cakrabuana di Cirebon. “Makanya kalau orang tua bilang, perjuangan Islam di Banten lebih dulu, meskipun Cirebon lebih tua. Karena orang tuanya dari Cirebon,” kata Ismet. Tubagus Najib, bagian kesejarahan Kenadziran Kesultanan Banten mengatakan, dalam candra sengkala, sebuah istilah dalam menunjukkan simbol-simbol angka, kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten pada sekitar tahun 1478 M. “Dalam Candra Sengkala disebutkan dalam kitab Caruban Nagari, brasta gosong tunggal satu warna empat. Artinya 1400 tahun saka. Jika dikonversikan sama dengan tahun 1478 M,” tegasnya. Meski demikian, Tubagus Najib tidak menyebutkan kedatangan Sunan Gunung Jati tersebut merupakan yang pertama kali di Jawa atau bukan. “Karena dalam versi lain, dari tanah arab ke Jawa, Sunan Gunung Jati langsung ke Pelabuhan Muara Jati. Yang sekarang wilayah Astana Gunung Jati Cirebon. Jadi memang masih banyak pendapat,” katanya. Pada saat usia relatif muda sekitar 27 tahun, Sunan Gunung Jati menjadi bagian dari wali songo, yang bertugas menyebarkan agama Islam di bumi Padjajaran. Pada usia yang relatif muda juga, Sunan Gunung Jati, mengawali karirnya berdakwah di Padjajaran mengislamisasikan Banten dan berhasil. (hsn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: