Ketua KPK Jadi Tersangka, KapanKemelut Usai?
Oleh: Ridwan Nanda Mulyana Dua bulan di permulaan tahun ini sepertinya menjadi waktu yang melelahkan. Khususnya bagi publik yang setia menantikan akhir kejelasan penyelesaian “drama” akrobatik politik dan hukum yang tenar, Cicak vs Buaya. Jika boleh dibilang sebagai sebuah kasus, ini memang sangat (dan semakin) berbelit-belit. Hal ini mungkin karena semakin melebarnya ruang lingkup perkara hukum dan politik yang disangkakan. Hal ini diperunyam pula dengan adanya berbagai perdebatan dari para ahli, politisi dan pihak-pihak terkait yang sama-sama mengatasnamakan “kebenaran dan keadilan hukum.” Sebagai seorang yang masih awam, disini penulis (yang mungkin mewakili sebagian besar masyarakat) hanya bisa melihat, menunggu, dan bertanya-tanya, kapan dan bagaimana ujung kasus ini bermuara? Pada pekan ini, selain perihal perayaan Imlek dan berbagai hal (masalah dan bencana) yang sebelumnya telah ada, penulis yakin bahwa ruang publik pasti telah (dan akan) diramaikan dua pemberitaan besar, yakni perihal putusan praperadilan yang “memenangkan” Komjenpol Budi Gunawan (BG), Senin (16/2) lalu.Serta topik aktual yang sedang panas perihal ditetapkannya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad (AS) sebagai tersangka dugaan pemalsuan dokumen oleh Polda Sulselbar. Sehari setelah dimenangkannya praperadilan BG oleh PN Jaksel, Selasa (17/2) kemarin. (GILIRAN)AS YANG JADI TERSANGKA Seperti yang diwartakan berbagi media, penetapan orang nomor satu di KPK sebagai tersangka tersebut mencuat setelah Kabid Humas Polda Sulselbar Kombespol Endi Sutendi menjelaskan perihal penetapan AS sebagai tersangka.Itu berdasarkan atas pengembangan dari laporan LSM Lembaga Peduli KPK dan Polri terhadap Feriyani Lim yang diduga memalsukan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Dalam hal ini, AS disangkakan telah terlibat dalam perkara tindak pidana pemalsuan surat dan/atau tindak pidana administrasi kependudukan sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) (2) subsider Pasal 264 ayat (1) (2) lebih subsider Pasal 266 ayat (1) (2) KUHP dan atau pasal 93 UU RI no 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang telah dilakukan perubahan UU no 24 tahun 2013 dengan ancaman hukuman penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak 50.000.000 (lihat Merdeka.com). Seperti yang dilansir dan diadaptasi dari Liputan6.com (Selasa, 17/2), kasus AS ini bersumber dari dugaan pemalsuan dokumen kependudukan yang terjadi pada 2007 lalu. Saat itu, Feriyani Lim yang merupakan warga Pontianak, Kalbar, mengajukan permohonan pembuatan paspor di Makassar. Nama Feriyani pun dimasukkan (baca: diduga dipalsukan) ke dalam KK Samad yang beralamat di Boulevard, Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang, Makassar.Kemudian, pada Kamis (29/1/15) lalu Ketua LSM Lembaga Peduli KPK dan Polri, Chairil Chaidar Said, melaporkan Feriyani ke Bareskrim Polri. (Mungkin) tak terima jika hanya ia yang terjerat, Feriyani Lim pun turut melaporkan Abraham Samad terkait dugaan pemalsuan yang dituangkan dalam Laporan Polisi Nomor: TBL/72/II/2015/Bareskrim tertanggal 1 Februari 2015. Kasus tersebut lalu dilimpahkan kepada Ditreskrimun Polda Sulselbar. Gelar perkara pertama dilakukan pada Kamis (5/2/15), selanjutnya gelar perkara kedua pada Senin (9/2/15) sekaligus menetapkan Abraham Samad sebagai tersangka. Penyidik secara jelas menetapkan AS sebagai tersangka pada Selasa (17/2/15) kemarin.Itu setelah melakukan pemeriksaan terhadap 23 orang saksi serta memiliki alat bukti yang cukup, yakni KK, KTP dan paspor Feriyani yang diduga palsu. Bisa ditebak, dengan ditetapkannya AS sebagai tersangka bertepatan hanya sehari setelah kemenangan BG pada praperadilan, serta ditengah “drama politik dan hukum” yang belum juga usai ini. Asumsi dan opini (sebagian) publik di republik ini pun telah bergulir liar, yang mengarah pada sangkaan adanya upaya “serangan balik”, “kriminalisasi dan pelemahan” KPK. Namun harus digarisbawahi bahwa hal ini tentu masih sebatas sangkaan dan opini (sebagian) publik saja. Publik tentu berharap akan adanya—kepastian—penegakan supremasi hukum, dari penyelesaian berbagai “kemelut dan akrobatik” politik dan hukum ini. BERILAH KEPASTIAN DAN KEBIJAKSANAAN! Pasca ditetapkannya AS sebagai tersangka, kini sudah ada dua pimpinan KPK yang menjadi tersangka.Sebelumnya, wakil ketua KPK Bambang Widjojanto juga telah menyandang status tersangka dalam kasus dugaan pemberian perintah kepada saksi untuk memberikan keterangan palsu pada sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat. Selain itu, satu posisi pimpinan KPK masih kosong setelah masa jabatan Wakil Ketua KPK Buysro Muqoddas telah habis. Sebelumnyadua pimpinan KPK yang tersisa lainnya, yakni Zulkarnain dan Adnan Pandu Pradja, telah dilaporkan ke polisi atas kasus yang berbeda, yang mesti tidak diharapkan, namun—dimungkinkan—juga untuk bisa menyandang status yang sama dengan BW dan AS. Yang jelas, dengan berbagai dinamika yang ada, memang tak salah kiranya jika opini publik pun terus bergulir dengan liar. Untuk itu, sekali lagi, publik butuh kepastian;kepastian akan tegaknya supremasi hukum serta penyelesaian kemelut ini yang berjalan dengan adil dan objektif. Tidak dinodai oleh kepentingan politik mana pun dan siapa pun! Selain itu, menurut hemat penulis, Polri dan penegak hukum lainnya memiliki “utang dan PR” besar untuk mengembalikan rasa kepercayaan rakyat kepada institusi penegak hukum tersebut. Polri serta penegak hukum lainnya harus dapat memperlihatkan keadilan dan objektivitasannya kepada publik dalam menyikapi kasus ini. Di sisi yang lain, publik (dan berbagai kelompok pendukung KPK) pun tentu harus bersikap dewasa dan objektif. Jangan sampai kerasionalitasan dan “kesehatan” nalar dan nurani publik ternodai oleh sangkaan, opini, dan emosi (yang reaksioner) semata. Pada titik ini, publik (dan berbagai kelompok pendukung KPK) harus mengawal kasus ini dan “menekan” presiden beserta perangkat politik dan ketatanegaraannya untuk cepat bertindak memutuskan dengan adil dan bijaksana. Publik pun harus menjaga dan mengawasi agar kasus ini tidak dimanfaatkan dan dicederai kepentingan kelompok tertentu. Sengkarut permasalahan ini memang semakin ruwet. Tentu bukan perkara yang mudah bagi presiden dan berbagai perangkat kenegaraan lainnya untuk mengurai keruwetan dan menarik benang merah penyelesaian kasus ini. Sebagai pemegang “komando” di republik Pancasila yang melandaskan dirinya pada sistem presidensial ini, Presiden Jokowi tentudituntut untuk menjadi motor penggerak yang bijaksana dan sigap dalam memutus rantai kemelut ini. Dalam hal ini, tak salah kiranya jika penulis mengadaptasi pernyataan Halili dan Ignas Kleden (Kompas, 27/1/15) yang sebelumnya pernah penulis kutip dalam tulisan yang diterbitkan oleh harian ini, “Pertimbangan Diberikan, Segera Putuskan!” (Radar Cirebon, 30/1/15). Langkah politik penyelamatan negara dari kegaduhan ini pada akhirnya (akan) kembali berpulang kepada Presiden Jokowi. Apakah beliau akan menunaikan doktrin universal “loyalitas terhadap (berbagai kepentingan) parpol selesai, begitu loyalitas terhadap negara dimulai”, ataukah akan tersandera oleh kebimbangan (dan kepentingan politik tertentu). Rakyat tentu mendukung dan mendamba presiden yang tanggap, sigap, bijaksana dan mengutamakan kepentingan publik. Dan dalam negara demokrasi, untuk menyelesaikan sengkarut politik dan hukum seperti ini memang tidak mudah. Karena di negara demokrasi:“tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar!” Semoga kita semua dapat mengawal para elite dan berbagai perangkat negara agar mampu untuk memutuskan hal yang benar, dengan cara yang benar. Demi meyelamatkan bangsa dan negara ini dari keterpurukan dan perpecahan, serta demi menyelamatkan energi dan konsentrasi publik agar tidak terbuang percuma gara-gara kemelut ini. Masih banyak masalah bangsa yang menunggu untuk diselesaikan dan tantangan yang harus kita jawab. Diakhir tulisan ini, ijinkan penulis untuk mengucapkan: Selamat merayakan Tahun Baru Imlek 2566 untuk keluargaku setanah air yang merayakan. Semoga damai, keberkahan, keberuntungan dan kebahagiaan selalu ada bersama kita, bangsa dan negara kita tercinta ini. Amin. (*) *) Esais, Mahasiswa Jurusan Sejarah FIB Undip, tinggal di Kasturi, Kuningan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: