Dispenda Mengaku Kecolongan
Air Talaga Nilem Ditaksir Rugikan Pajak Rp1,2 Juta Per Bulan KUNINGAN – Sebagai instansi pemungut pajak, Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) Kuningan mengaku kecolongan seiring ditemukannya sejumlah pipa ilegal yang menyedot air di mata air Talaga Nilem, Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan. Sebab, dari sekian banyak pipa tersebut, hanya dua titik pipa saja yang rutin membayar pajak tiap bulan. Tidak sama dengan keterangan Ketua Komisi II DPRD H Dede Ismail SIP, Kepala Dispenda, H Dr Dian Rachmat Yanuar MSi menyebut hanya terdapat 18 titik pipa pengambilan air di mata air Talaga Nilem. Dari 18 titik tersebut, hanya dua yang menyetorkan pajak. “Pajaknya sistem plat atau pukul rata. Yang satu setor Rp750 ribu dan satunya lagi setor Rp500 ribu per bulan. Sedangkan untuk titik lain belum setor pajak air tanah,” ujar mantan kepala Bappeda itu, kemarin. Dia mengaku sudah sering merapatkan hal itu dengan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) lain. Sebab menurutnya, selama ini Pemkab Kuningan kehilangan potensi pajak yang cukup besar. Terlebih, dari belasan titik pipa tersebut, terdapat beberapa di antaranya yang menyedot air cukup besar. Saat ditanya sejak kapan dilakukan pemanfaatan air di Talaga Nilem, Dian hanya menjawab sudah bertahun-tahun. Saat disusul dengan pertanyaan kenapa baru sekarang dirapatkan, dirinya menegaskan Dispenda hanya bertugas untuk menarik pajak pada perusahaan yang berizin. “Sepanjang berizin ya kami tindaklanjuti. Yang dua itu sudah berizin berarti. Kalau yang 16 titik lainnya, kami tak ambil pajak. Dengan demikian berarti ya tidak berizin,” tandasnya. Dia menyarankan agar Pemdes Kaduela segera meninjau ulang Perdes yang dimilikinya. Sebab, urusan pemanfaatan air, perjanjiannya mesti G to G atau G to G dan pihak ketiga. Bukan antara Pemdes dengan pihak ketiga (perusahaan) atau Kompepar (kelompok penggerak pariwisata) dengan pihak ketiga. “Saya bicara begini karena berdasarkan kajian kami, Kompepar menjual pula ke PDAM Cirebon. Selain itu, kami memeroleh informasi bahwa Kades Kaduela dulu merangkap Kompepar,” terang Dian. Pihaknya menyarankan, ke depan perlu dibuatkan tuk atau reservoir yang dipasang water meter. Dengan begitu, pengambilan air bisa terkontrol dan hitungan pajaknya pun akan jelas. Terkait masalah itu, Dispenda telah melakukan koordinasi dengan DSDAP (Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan) Kuningan. “Saya kira ini bernilai strategis sehingga perlu diambil langkah. Beberapa di antaranya dengan dilakukan pembuatan tuk beserta water meter kemudian perlu juga peninjauan ulang Perdes,” sarannya. Potensi pajak yang hilang tersebut, diestimasikan olehnya mencapai sekitar Rp100 juta per tahun dari 16 titik. Itu pun penarikan pajak dengan menggunakan sistem plat atau pukul rata. Sedangkan jika dipasang water meter, nilai pajak yang bisa masuk kas daerah bisa melebihi angka tersebut. “Sebagai gambaran saja, dari dua titik dengan nilai pajak Rp750 ribu dan Rp500 ribu, berarti per bulan mencapai Rp1,2 juta. Oke kita ambil rata-rata Rp600 ribu per titik tiap bulannya, meskipun ada yang pipanya berukuran besar. Nah kalau diambil angka minimal, angkanya mencapai Rp100 juta per tahun,” urai Dian. Saat dikonfirmasikan soal adanya setoran pajak yang nunggak sejak 2013 lalu sesuai keterangan Dede Ismail, Dian tidak mengakuinya. Birokrat muda ini menegaskan, dua titik yang rutin setor pajak tidak pernah nunggak sampai tahun ini. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: