Oleh: Dudi Farid Wazdi

Oleh: Dudi Farid Wazdi

Oleh: Dudi Farid Wazdi SAMPAI usia enam belasan saya memprediksi bahwa setan itu adalah sesosok makhluk yang menyeramkan dan berada di luar jangkauan panca-indera. Tetapi, kini menjadi terang bahwa ia sebenarnya adalah gelar sesosok nafsu yang ada di diri kita masing-masing, yang dalam sekejap bisa muncul dan menguasai diri, sehingga menjadi jelas di panca-indera. Ia bernama korupsi. Korupsi sudah menjadi sesosok godaan yang sangat serius, karena ia kelihatannya begitu lezat di mata, nyaman di perut, banyak temannya dan sejenisnya, sehingga eksistensinya sekarang semakin bertambah kuat. Korupsi benar-benar telah mewabah dari kota hingga ke desa, dari pejabat hingga ke artis dan bahkan dari preman hingga tokoh agama. Dunia dan korupsi memang seumpama bayang-bayang, keduanya merupakan kerabat dekat. Saking dekatnya, perselingkuhan mereka dapat melahirkan beragam penyakit kehidupan di masyarakat kita saat ini. Munculnya perilaku konsumtif, serba instan dan malas melalui proses, istilah biar tekor asal kesohor, doyan upeti, sogok-menyogok adalah media yang sering menjadi sasarannya. Mulai dari persoalan dunia hiburan yang lebih senang mengeksploitasi keindahan tubuh wanita, sejumlah konflik politik yang tak jarang memicu politik dagang sapi, saling menyandera satu sama yang lainnya, hingga apa yang saat ini dikenal sebagai corruption by greed, atau korupsi yang dilakukan karena adanya sifat keserakahan untuk bisa hidup bermewah-mewahan baik di kalangan artis maupun pejabat. Hidup mewah akibat dorongan nafsu dengan segala aksesorinya telah menjadi hiasan yang tak luput diliput media setiap saat, sehingga ujungnya menjadi virus endemik ke semua kalangan dan level. Padahal, nafsu sendiri seringnya diibaratkan dengan air laut, yang apabila diminum tidak menghilangkan dahaga, tetapi hanya akan menambah haus. Jadi, manusia tidak akan puas memperturutkan hawa nafsunya. Semakin tinggi menduduki jabatan, maka semakin hebat pula godaan korupsinya (baca godaan setannya/nafsunya). Semestinya kita ini sadar bahwa: dunia ini tak ubahnya laksana fatamorgana. Keterangan ini misalnya kita bisa membaca Firman Allah SWT (dalam QS Ali-Imran ayat 14) yang artinya “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).” Berangkat dari keterangan ayat ini sebuah riwayat menerangkan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib pernah marah kepada saudaranya Aqil yang memintanya untuk mengambil uang kas negara demi melunasi utang-utangnya. “Saya sebetulnya sangat ingin membantumu, tapi tidak dengan uang kas negara,” kata Ali tegas. Aqil tentu saja kecewa dan terus mendesak. Hingga akhirnya Ali pun marah. “Karena engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi utangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi, ambil!” Aqil terkejut, lalu bertanya, “Mengapa engkau menyuruh aku mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?” Ali bin Abi Thalib lantas menjawab, “Lalu, bagaimana bisa engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh rakyat negeri ini?” Keterangan ini sebenarnya memberkan isyarat bahwa kita itu jangan hanya terfokus pada apa yang ada di kasat mata. Korupsi (maling harta rakyat yang tidak kasat mata, mulai dari kongkalingkong sampai mengutak-atik anggaran) benar-benar adalah sebuah godaan nafsu (setan) yang sangat berat. Di sini pulalah letak beratnya perang melawan hawa nafsu yang konon lebih berat ketimbang perang badar sekali pun. Bila pun ketika diri ini dikuasai oleh nafsu itu maka dijamin hidup ini menjadi tidak normal. Sejatinya, agar hidup di dunia ini normal semestinya berfilosofi pada roda pedati (roda kehidupan), itulah hidup yang alamiah (sunatullah), selalu berputar seperti bumi, bulan dan tata surya lainnya. Hidup akan berkualitas ketika menyusuri irisan demi irisan kesenangan, duka dan lara. Rasa aman, kasih sayang, dan perhatian dari orang lain pun (menjadi artis dan atau pejabat) alamiah dan ilmiahnya datang dan pergi seiring bergantinya hari. Itu semua adalah rahasia kehidupan yang dirajut oleh Allah untuk hamba-Nya di dunia. Sementara, hawa nafsu (korupsi dilengkapi dengan kolusi dan nepotisme) hanyalah akan membuat roda pedati enggan berputar kembali, dan rajutan kehidupan hancur tak berpola. Sebenarnya, ada media dan metode agar nafsu itu tidak menguasai diri, yakni sabar dan salat tepat waktu. Keduanya, secara otomatis akan memberikan efek (sadar dan tidak rakus bin kemaruk) ia akan membuat roda pedati kembali berputar, dan dengan sendirinya rahasia kehidupan mengungkapkan keindahannya. Bukankah hidup ini pun sebenarnya terasa indah ketika masih menjadi rahasia? Coba bayangkan ketika anda menyaksikan pertandingan sepak bola, indah mana antara siaran tunda dan siaran langsung? Saya sangat yakin, seyakin-yakinnya bahwa orang yang masih terpengaruh oleh hawa nafsunya (melakukan perbuatan korup) itu adalah bukan penyabar dan tidak memperhatikan salatnya. Sabar adalah ibu dari segala cita dan keinginan. Sementara salat tepat waktu adalah rumus untuk dapat menguasai jiwa dan pikiran serta menentang nafsu-korupsi. Wallohu a’lam* *Penulis adalah Penyuluh Agama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: