Talaga Nilem Harus Ditutup
Karena Menganggap Perdes dan MoU Cacat Hukum KUNINGAN – Setelah ditinjau langsung, mata air Talaga Nilem di Desa Kaduela Kecamatan Pasawahan ternyata tak terurus. Permukaan kolam mata air dipenuhi banyak rumput semacam ganggang yang membuat suasana kumuh dan kotor. Bahkan memicu pendangkalan. Ketidakterurusan ini dibenarkan oleh Kades Kaduela, Yayat Suyatna. “Lihat saja mata airnya tak terurus. Ini juga merupakan salah satu pelanggaran perjanjian dan juga Perdes Nomor 3/2009. Di situ disebutkan, kelompok penggerak pariwisata (Kompepar) Talaga Remis yang berkewajiban untuk menjaga kelestarian air Talaga Nilem dan menjaga pipa penyaluran air yang berada di wilayah Desa Kaduela,” ungkap Yayat, kemarin (3/3). Selain mata air tak terurus, dia membeberkan pula pelanggaran perjanjian yang telah dibangun 2010 silam antara CV Talaga Nilem Sakti (TNS) dan Kompepar Talaga Remis. Sama halnya dengan Perdes, banyak pasal yang menurutnya dilanggar. Pada pasal 4 Perdes misalnya, besaran pipa yang disepakati berdiameter 6 inchi dengan daya 15 liter per detik menggunakan sistem on-off. Pada kenyataannya, sekitar 200 meter dari hulu, pipa berdiameter 8 inchi, baru kemudian ke hilir sebesar 6 inchi. “Besarnya ukuran pipa di hulu membuat kucuran airnya lebih kencang ke hilir,” duga Yayat. Untuk besaran kompensasi yang seharusnya diterima pemerintah desa, hanya berjalan sampai 2013. Itu pun hanya senilai Rp1 juta per bulan. Padahal jika melihat pasal 5 Perdes, dari setiap air baku yang terjual pemerintah desa berhak atas Rp165 per meter kubik. “Karena tidak dipasang water meter, besaran kompensasi mengacu pada MoU dimana hasil hitungan kami mencapai kisaran Rp5 juta sampai Rp6 juta per bulan,” sebutnya. Dari nilai perolehan yang didapat dibagi antara pemdes dengan kompepar. Persentasenya 90 persen untuk pemdes, sedangkan ke kompepar sebesar 10 persen. Disebutkan Yayat, kerja sama akan berlangsung selama 30 tahun. Namun pada pasal berikutnya akan ada tinjau ulang setiap tiga tahun sekali dengan kenaikkan maksimal 20 persen. Kenyataannya, dalam kurun waktu tiga tahun tidak ada tinjau ulang. “Pada pasal 9 diatur bahwa pemdes berhak mendapatkan laporan laba rugi tapi tidak ada sama sekali. Pembayaran kompensasi pun mestinya dibayarkan di desa, tapi ternyata harus menagihnya ke CV TNS,” ungkapnya. Yayat berharap, kisruh yang terjadi di Talaga Nilem bisa diselesaikan sampai tuntas. Kewajiban dari CV TNS pun harus dipenuhi sesuai perjanjian, sejak 2010 sampai sekarang. Dia melanjutkan, jika saat ini MoU dan Perdes dianggap cacat hukum, seharusnya aliran air ditutup sementara. Kemudian dibuatkan perjanjian baru yang mengakomodasi semua pihak. Sebab, kerja sama antara Kompepar dan CV TNS berdasarkan pada MoU. MoU sendiri mengacu pada Perdes. “Nah kalau Perdes dianggap cacat hukum, maka secara otomatis perjanjian antara Kompepar dengan CV TNS pun batal. Dan aliran air pun seharusnya ditutup,” kata Yayat. Bagaimana dengan pipa raksasa yang mengalirkan air cukup deras? Dia menyerahkan masalah itu diserahkan ke DPRD. Sebab, kerja sama yang dibangun antardesa lintas kabupaten, perlu dipelajari lebih lanjut. “Mungkin dulu ada kerja sama yang dibangun antara Pemdes Kaduela dengan Pemdes Cikalahang, Cirebon. Karena pipanya itu terpasang sejak tahun 1985. Jadi masalah itu kami serahkan ke DPRD untuk menyelesaikannya,” ucap dia. Kepada Radar, dirinya mengaku baru saja kedatangan jajaran Komisi I DPRD. Namun kunjungan mereka ke Kaduela kaitannya dengan perbatasan wilayah TNGC. Terpisah, Ketua Kompepar Talaga Remis, Suwarno menangkis tanggungjawab yang diemban oleh kompepar. Menurutnya, mata air yang kurang terurus itu bukan lagi tanggungjawabnya, melainkan Badan Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC). “Dulu sewaktu perjanjian antara Kompepar dengan CV TNS kan masih Perhutani. Pas saya berhenti dari kades, saya tidak tahu menahu karena sudah diserahkan ke BTNGC,” jelas Suwarno. Dia menegaskan kembali bahwa Kompepar tidak punya kewajiban itu. Dulu sewaktu masih wilayah Perhutani, kerja samanya masih bagus. Dirinya pun mengaku masih aktif. Namun sejak 2011 muncul aturan baru sehingga pihaknya menjadi tidak tahu menahu. “Untuk kompensasi, Kompepar juga tidak menerima karena ke pemdesnya pun tidak ada,” ungkapnya. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: