Kompak Lawan Remisi untuk Koruptor

Kompak Lawan Remisi untuk Koruptor

Justru Melanggar HAM, Usulkan Hukuman Mati JAKARTA - Rencana remi­si untuk koruptor yang di­lon­tarkan Menkum HAM Yasonna H Laoly mendapat perlawanan dari berbagai pihak. Kritik datang dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pengamat hukum pidana, dan pakar hukum. Menurut mereka, koruptor tidak layak diberi remisi. Bahkan, mereka meminta pemerintah untuk menghukum mati pelaku kejahatan luar biasa itu. Pakar hukum pidana Yenti Ganarsih mengatakan, kebijakan remisi koruptor harus dilawan. Sebab, hal itu jelas menguntungkan penjahat yang mencuri uang negara. Dia menganggap kebijakan tersebut merupakan hadiah yang keliru dari pemerintah. “Ini sama saja memanjakan para koruptor,” jelasnya saat diskusi, kemarin (15/3). Yenti mengatakan, sudah seharusnya pemberian remisi untuk koruptor diperketat. Koruptor bisa menerima remisi asal mau menerima beberapa persyaratan. Pertama, mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk memberikan informasi siapa saja yang menerima uang hasil korupsi tersebut. Yang kedua, orang itu mau mengembalikan uang negara yang dia curi. “Itu merupakan efek jera bagi koruptor,” jelasnya. Dosen Universitas Trisaksti itu menjelaskan, penegakan hukum di pemerintahan Jokowi-JK sangat lemah. Dia bahkan menilai hukum dipermainkan. Mulai pengajuan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) yang notabene ditetapkan sebagai tersangka kasus rekening gendut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kriminalisasi KPK oleh Polri. Dia membandingkan dengan zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut dia, SBY lebih tegas. Ketika sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) terjerat kasus korupsi, presiden keenam itu meminta menteri yang bersangkutan untuk mundur dari jabatannya. “Jauh lebih tegas SBY,” paparnya. Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan, pengetatan remisi kepada koruptor bukan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sebab, koruptor justru melanggar HAM. “Saat dia mencuri uang negara, ada hak orang lain yang dia curi,” jelasnya. Bukan hanya pengetatan mendapatkan remisi. Dalam kesempatan itu, Abdullah mengusulkan adanya hukuman yang berat bagi koruptor. Salah satu contohnya, koruptor diasingkan di pulau terpencil. Mereka tidak boleh dibesuk keluarganya. Bahkan dia mewacanakan koruptor untuk dihukum mati, sama seperti terpidana narkoba. Hal itu akan memberikan efek jera bagi penjahat uang negara tersebut. Menurut Abdullah, saat ini tidak ada larangan hukuman mati. “Beberapa negara masih menggunakan hukuman mati,” ungkapnya. Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM merasa kebijakan merevisi PP 99/2012 itu bukan serta-merta dari internal. Pihaknya mengaku telah melibatkan pihak luar untuk ikut melakukan kajian. Upaya tersebut, antara lain, dengan mengadakan seminar. “Kami telah menjaring aspirasi masyarakat. Salah satunya lewat seminar yang kami selenggarakan di UKI (Universitas Kristen Indonesia) Kamis lalu (12/3),” ujar Kasubdit Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan Akbar Hadi Prabowo. Menurut dia, dalam seminar itu sejumlah akademisi dan praktisi juga hadir. Di antaranya, anggota Kompolnas sekaligus kriminolog Adrianus Meliala. Dia menyebut revisi perlu karena PP 99/2012 itu tidak sesuai dengan filosofi penghukuman dunia dan pemasyarakatan Indonesia. Dia juga menilai peraturan tersebut bersifat diskriminatif, menambah masalah bagi lapas, dan tidak sesuai dengan tujuan penegakan hukum kasus korupsi. “Dalam seminar itu, kami juga mengundang hakim agung Gayus Lumbun. ICW dan KPK sebenarnya juga telah kami undang,” katanya. Akbar menyatakan segala aspirasi dari masyarakat pasti didengar. Namun, revisi memang tetap diperlukan. Mengenai target penyelesaian revisi itu, Akbar mengaku belum tahu karena kewenangannya langsung pada menteri hukum dan HAM. (aph/gun/c6/fat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: