Cirebon Jamin Produksi Padi Tak Terganggu

Cirebon Jamin Produksi Padi Tak Terganggu

BANJIR, musim panen pun terancam. Meski demikian, pemerintah menjamin produksi padi tahun ini tak terganggu. Untuk Kabupaten Cirebon, sedikitnya 236 hektare lahan persawahan yang terendam banjir. Data ini dirilis oleh Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan dan Kehutanan (Distanbunakhut) Kabupaten Cirebon, kemarin. Sekretaris Distanbunakhut Kabupaten Cirebon Drs H Muhidin SIP mengatakan luas areal pertanian yang terendam banjir ada di 9 desa dalam 3 kecamatan. Yakni, Kecamatan Pangenan meliputi Desa Astanamuki (82 hektare), Japura Lor (52 hektare), Bendungan (10 hektare), Rawaurip (12 hektare) dan Getrakmoyan (5 hektare). Kemudian Kecamatan Astanajapura meliputi Desa Kanci Kulon (30 hektare) dan Desa Japura Bhakti (20 hektare). Sementara, satu desa di Jamblang yakni Desa Bakung Lor (25 hektare). “Semua itu meliputi tanaman padi dan palawija,” tuturnya. Ratusan areal persawahan yang terkena banjir ini tidak sampai 5 hari. Berdasarkan pantauan tim Distanbunakhut di lapangan, ternyata air yang menggenangi ratusan hektare persawahan ini ternyata sudah surut sejak hari Minggu (15/3). “Kekuatan tanaman itu 5 hari jika terendam. Tapi, setelah dicek ternyata tanaman sudah tidak terendam banjir. Mudah-mudahan tidak sampai puso,” bebernya. Dikatakan, bencana banjir yang menggenangi ratusan hektare tanaman padi kali ini diprediksikan tidak akan memengaruhi hasil produksi padi, baik dalam skala kabupaten, provinsi, maupun nasional. Sebab, luas areal pertanian, khususnya tanaman padi, berjumlah 52.269 hektare, 25.591 hektarenya ada di Kabupaten Cirebon bagian barat yang meliputi Kecamatan Gegesik (5.226 hektare), Kaliwedi (2.232 hektare), Panguragan (1.686 hektare), Susukan (3.688 hektare), Arjawinangun (1.459 hektare), Kapetakan (3.015 hektare), Suranenggala (1.552 hektare), Gunungjati (958 hektare), Ciwaringin (1.146 hektare), Gempol (985 hektare), Palimanan (998 hektare), Jamblang (1.479 hektare) dan Klangenan (1.167 hektare). “Sisanya yang berjumlah 27.771 hektare ada di wilayah timur Kabupaten Cirebon, sementara yang terkena banjir hanya 236 hektar minus Kecamatan Jamblang 25 hektare. Jadi, banjir di wilayah timur hanya 211 hektar saja, sehingga hanya beberapa persen saja dari total areal pertanian di wilayah timur,” katanya. Sementara itu, para petani yang ada di wilayah Cirebon timur memilih untuk melakukan panen lebih awal. Mereka khawatir jika tak memanen lebih cepat, akan terjadi gagal panen. Salah satu petani asal Desa Ciawiasih, Sutini, mengatakan dirinya terpaksa memanen tanaman padi lebih cepat. “Ya harus cepat-cepat dipanen. Sebenarnya tanaman padi saya kan ditanam bulan Januari dan harusnya April dipanen. Tapi Maret kita cepetin saja panennya,”ujar Sutini. Petani lainnya, Jumadi, juga melakukan hal yang sama. “Sekarang sih kita kaya balap-balapan sama cuaca. Kalau kita lambat, ya banjir, ya hama. Terus juga angin besar. Bisa-bisa tanaman padi kita rusak dan kita gagal panen,” ujar Jumadi. Dia mengaku tahun lalu punya pengalaman buruk, yaitu hasil panen yang sedikit. “Belajar dari panen tahun kemarin itu saya sedikit sekali panennya. Selama saya belasan tahun jadi petani, baru tahun kemarin hasil panen saya sedikit. Makanya tahun ini saya benar-benar harus bisa baca cuaca. Jangan sampai saya rugi lagi, apalagi sampai gagal panen,” kata Jumadi. PEMKAB TAK KREATIF ATASI BANJIR Tuntutan agar Pemkab Cirebon kreatif dalam mengelola pembangunan daerah, khususnya mengatasi bencana banjir, disampaikan wakil rakyat asal Kecamatan Losari, Sofwan ST. Dia menatakan tidak ada upaya maksimal dari pemerintah daerah sebagai pengelola dan penanggung jawab pelayanan publik dalam mengantisipasi bencana banjir. Padahal bencana banjir datang tiap tahun. “Kayaknya mereka hanya pasrah pada keadaan,” katanya kemarin. Politisi Gerindra ini menuturkan, setiap kali rapat dengan dinas terkait, khususnya Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (PSDAP) Kabupaten Cirebon ataupun dinas dan badan lainnya, apabila disinggung persoalan penanggulangan banjir, seperti normalisasi sungai, pembangunan senderan ataupun lainnya, pasti yang menjadi alasan klasik adalah terbentur anggaran. “Keterbatasan anggaran selalu menjadi alasan klasik mereka,” tuturnya. Selain itu, ada juga alasan bahwa penanganan sungai bukan kewenangan Pemkab Cirebon. “Lempar handuk sembunyi tangan juga alasan yang sangat latah diucapkan,” bebernya. Padahal, jika ada kemauan besar untuk melindungi rakyatnya, sambung dia, kendala anggaran atau pengalihan kewenangan bukan menjadi persoalan. “Anggaran dan kewenangan hanya persoalan administrasi, bukan persoalan teknis,” tegasnya. Jika memang alasan anggaran, sambungnya, pemkab bisa mencari anggaran di pemprov atau pusat guna mengakali keterbatasan anggaran pada APBD Kabupaten Cirebon. Kemudian, pemerintah pun bisa menekan perusahaan-perusahaan yang ada di Kabu­paten Cirebon untuk mengalo­kasikan sebagian dana CSR-nya untuk kegiatan perbaikan sungai dan pengerukan. Bahkan, pemerintah bisa membuat program gerakan di tingkat masyarakat agar mereka sama-sama menjaga sungai yang benar-benar teraplikasi de­ngan baik, bukan hanya sekadar lips service. “Saya kira ba­nyak cara yang tidak melulu harus memerlukan biaya tinggi, cara murah meriah pun banyak, asal dinas atau badan yang mem­punyai kewenangan bekerja secara kreatif,” ungkapnya. (jun/den)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: