Cirebon Go International
HAMPIR dua bulan yang lalu, terdapat kabar yang menarik perhatian penulis dan khalayak ramai. Kota Austin, Texas, Amerika Serikat “dipasangkan” dengan Kota Cirebon di Indonesia melalui skema kerja sama kota kembar (sister city) oleh Indonesia Diaspora Network, Cirebon Sister Cities dan tim dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Sungguh merupakan kabar yang membanggakan, karena Kota Cirebon merupakan salah satu dari sedikit kota di Indonesia (Jakarta, Bogor dan Surabaya) yang memperoleh kesempatan untuk melakukan dan menjalin kerja sama sister city dengan kota-kota di Amerika Serikat. Ke depannya akan dicari persamaan dan hal mudah antara kedua kota tersebut untuk dikembangkan sebagai solusi upaya perbaikan Kota Cirebon, di samping tiga bidang utama yaitu pendidikan, ekonomi, dan pariwisata (Radar Cirebon, 04/02/2015). Jarak Amerika Serikat dan Indonesia sekitar 12.000 kilometer atau setara 18 jam lewat penerbangan udara, bukanlah menjadi penghambat lagi dalam menjalin kerja sama antar-kota. Apalagi di dunia yang terglobalisasi ini, semuanya semakin terkoneksi dengan mudah. Dan memang, seperti yang diungkapkan Kinechi Ohmae dalam buku Triad Power (1985), bahwa masa depan abad ke-21 bukan hubungan yang bersifat antar negara (Government to Government/G to G), melainkan antar pemerintahan daerah (local government) (Jatmika, 2001). Maka dari itu, skema kerja sama kota kembar merupakan keniscayaan bagi pemerintahan lokal. Bukan hanya kota dalam satu negara, melainkan kota-kota antarnegara di seluruh dunia. Kota Austin sendiri adalah ibu kota dari negara bagian Texas, Amerika Serikat. Kota ini menyandang banyak predikat, antara lain kota terpadat nomor sebelas di Amerika Serikat, ibu kota terbesar kedua di Amerika Serikat, “kota udara bersih” (karena keberhasilan penerapan kebijakan pelarangan merokok yang diterapkan di seluruh kota), dan kota paling aman kedua di Amerika Serikat pada tahun 2012 (oleh Federal Bureau of Investigation/FBI) (en.wikipedia.org). Di kota ini pula berdiri University of Texas at Austin, salah satu universitas terbaik di Amerika Serikat, bahkan dunia (peringkat 79 dunia versi QS World University Ranking). Perusahaan-perusahaan multinasional dunia pun tidak mau melewatkan kesempatan untuk berbisnis di Austin, seperti Dell, IBM, Intel, Google, Cisco, eBay, Apple. Inc, OracleCorporation dan lainnya. Dari berbagai “prestasi” tersebut, Austin sangat layak dijadikan sebagai wahana pembelajaran bagi Kota Cirebon untuk membangun di segala aspek. Konsep kerja sama kota kembar ini lahir dan berkembang di Amerika Serikat, sekitar tahun 1956 atas ide Presiden Dwight Eisenhower untuk meningkatkan diplomasi di antara masyarakat sampai pada level terbawah (people to people diplomacy) (Jatmika, 2001). Di kemudian hari, konsep kerja sama kota kembar antar negara ini dikenal dengan istilah paradiplomacy. Sementara di Indonesia, skema kerja sama kota kembar mulai populer ketika Departemen Luar Negeri RI pada tahun 1973 mengeluarkan surat edaran yang mengatur hubungan kerja sama dengan kota-kota di luar negeri yang kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerja sama Antar Kota (Sister City) dan Antar Provinsi (Sister Province) Dalam dan Luar Negeri, dan berbagai peraturan lain yang dikeluarkan di tahun-tahun berikutnya (Oetomo, 2010). Maka, dinyatakan bahwa secara formal Indonesia menggunakan skema ini pada tahun 1993. Walaupun sejak tahun 1960, sudah ada daerah yang menggunakan skema kerja sama ini, yaitu Kota Bandung dengan Kota Braunschweig (Jerman), yang sampai sekarang bisa kita lihat “tugu peringatannya” di pertigaan Jalan Wastukancana, Jalan Purnawarman dan Jalan Tamansari, Kota Bandung. Oleh karenanya, skema kerja sama ini bukan barang baru bagi Indonesia. Tetapi seperti sabda hukum alam yang sering kita dengar, ada peluang, tentu ada tantangan yang menghadang di depannya. Sudah banyak kota-kota di Indonesia yang melakukan kerja sama kota kembar dengan kota lain di luar negeri, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Di sini penulis bukan berupaya untuk menyebarkan virus pesimisme terhadap upaya yang sedang dijalani saat ini. Tetapi alangkah lebih baik apabila kita dapat belajar dari kasus-kasus yang telah terjadi, untuk membuat skema kerja sama ini berjalan lebih sempurna dan sesuai dengan yang diharapkan. Seperti pada kasus Bandung-Braunschweig, kerja sama yang sudah berlangsung selama hampir 55 tahun ini berdasarkan hasil survei, tidak banyak diketahui masyarakat Kota Bandung. Bahkan dirasakan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Kemudian pada kasus penjajakan kerja sama kota kembar antara Kota Xian (Tiongkok) dan Kota Solo. Pihak Kota Solo pun ternyata tidak terlalu antusias dalam mengembangkan kerja sama tersebut. Karena melihat pengalaman-pengalaman kerja sama serupa yang dianggap “selalu buntu dan gagal”, terhenti sampai pada dokumen Memorandum of Understanding (MOU), tanpa tidak lanjut yang lebih luas.(KR, 26/10/2014). Hal-hal tersebut terjadi dikarenakan kerja sama ini mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian selalu hanya dilakukan oleh pemerintah per pemerintah (G to G). Tapi melupakan kedudukan masyarakat dan komunitas di bawahnya. Padahal tujuan inti dari kerja sama ini meningkatkan diplomasi antarorang per orang (people to people), sehingga terkesan kurang menyentuh komunitas yang sebenarnya yang dituju sister city (Purnawan dan Mustikadara, 2013). Selain itu, dalam banyak kasus, ternyata skema kerja sama ini sering menjadi beban keuangan negara atau daerah, memunculkan ketidaksetaraan, kerja sama kurang seimbang dari aspek modal dasar sehingga menguntungkan salah satu pihak (Oetomo, 2010). Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kerja sama kota kembar Cirebon-Austin yang sukses? Menurut penulis, idealnya diperlukan: 1) Kesepakatan awal yang meyakinkan bahwa dalam skema kerja sama tersebut kedudukan dua kota adalah setara dan bisa saling menguntungkan kedua belah pihak. 2) Political willingness yang kuat untuk mewujudkan kerja sama ini menjadi berhasil dan bermanfaat. 3) Sinergitas semua pihak, baik pemerintah (daerah, provinsi dan pusat), swasta, dan masyarakat luas untuk memberikan kontribusi terbaiknya. Masyarakat juga harus melek dan peduli atas berbagai perkembangan yang terjadi. 4) Pembuatan kegiatan yang jelas dan berkesinambungan, agar kerja sama yang telah dibuat tidak mandek begitu saja, apakah itu pertukaran pelajar/mahasiswa Cirebon-Austin, festival seni dan budaya, pelatihan, seminar, workshop, dan sebagainya. Jangan yang terlalu besar, cukup dengan kegiatan-kegiatan berbiaya murah, tetapi tepat sasaran. 5) Melibatkan anak muda dan kelas kreatif dalam proses kerja sama ini yang duduk bersama dalam badan atau komisi dengan pemerintah dan swasta. Karena pada dasarnya, kelas kreatif kota memiliki ide-ide cemerlang yang jarang dilirik para pemangku kebijakan, dan Kota Cirebon tidak pernah kekurangan “stok” anak muda dan kelas kreatif yang siap berkontribusi, dan 6) Keberanian dalam mengambil risiko dan kesabaran. Karena kerja sama ini tentunya memakan biaya, tenaga, dan waktu yang sangat banyak. Yang paling penting, para pemangku kebijakan di Kota Cirebon jangan malu untuk belajar dari kota lain agar bisa membangun kota yang kita cintai ini lebih baik dan makin baik. Jangan pula kerja sama ini dipolitisasi oleh sebagian kalangan, sehingga tidak tercapai esensinya. Harapannya, kerja sama ini bisa membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Kota Cirebon juga makin bisa mengibarkan namanya di kancah internasional, mensejajarkan kedudukannya dengan kota-kota lain di seluruh dunia. Amiin. (*) *Mahasiswa S-1 Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Warga Kota Cirebon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: