Penarif Raperda Langgar Kode Etik

Penarif Raperda Langgar Kode Etik

KUNINGAN – Isu dugaan penarifan “harga” senilai Rp25 juta untuk satu Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terus jadi sorotan. Jika terbukti, oknum tersebut harus ditindak karena telah melanggar kode etik anggota dewan. Badan Kehormatan (BK) DPRD disarankan untuk melakukan investigasi. Pernyataan ini dilontarkan Ketua Fraksi Restorasi PDI Perjuangan, Nuzul Rachdy SE, Senin (4/5). Dia menegaskan, jika isu penarifan harga sekarang ada, maka termasuk pelanggaran kode etik. “Memang ini sudah menjadi ranah BK. Sesuai dengan Tata Tertib DPRD, BK harus bertindak setelah menerima pengaduan. Tapi bisa saja secara internal menelusuri meski bukan untuk diekspose. Saya sarankan agar BK melakukan investigasi,” harap politisi yang sudah tiga periode duduk di parlemen daerah itu. Disinggung pengakuan salah seorang mantan pejabat yang membenarkan penarifan harga sudah terjadi sejak lama, Zul –sapaannya-, membantahnya. Selaku mantan ketua Badan Legislasi (Banlega) yang kini beristilah Baperda (Badan Pembentuk Perda), menurutnya, praktek seperti itu tidak ada. “Nggak ada kok, siapa birokrat yang ngomongnya? Saya akan panggil kalau ada birokrat yang mengatakan saya meminta uang saat zaman dulu. Tunjukkan orangnya, karena dulu aman-aman saja,” tandas Zul. Kembali ke persoalan awal, BK disarankan untuk mela­kukan investigasi. Namun pihaknya tidak menyarankan untuk membentuk tim. Sebab, oknum yang terlibatnya pun belum diketahui, begitu pula kerugiannya. “Kalau dulu sewaktu saya masih menjabat ketua Banleg, saya selalu cek daftar hadir ang­gota alat kelengkapan dewan. Dan sebelum terjadi tindakan pelanggaran, saya selalu ingat­kan. Contoh kalau ada ang­gota yang tidak meng­hadiri Pari­purna lima kali, maka saya ingat­kan agar jangan sampai keenam kali,” tuturnya. Dia menjelaskan, Baperda tidak lagi membutuhkan dana untuk menjalankan tugasnya. Sebab biaya untuk itu sudah disiapkan. Terlebih Baperda bukan alat kelengkapan penen­tu, hanya bersifat harmonisasi Raperda dengan aturan di atasnya. “Sungguh terlalu kalau ada yang bargaining seperti itu. Karena Baperda hanya har­monisasi saja. Memang, Baperda bisa menggagalkan Raperda untuk dibahas lebih lanjut. Tapi itu kalau tidak urgen dan bertentangan dengan aturan di atasnya,” jelas Zul. Pembahasan isi Raperda, tambah dia, sudah menjadi ranah Panitia Khusus (Pan­sus). Pansus juga nanti ber­hak melak­sanakan studi ban­ding dengan biaya yang telah disiapkan. Menurut Zul, Baperda tidak bisa melakukan studi banding terkecuali bersifat tahunan. Sehingga dirinya merasa agak aneh jika muncul isu pena­rifan harga Raperda untuk keperluan studi banding. “Saya imbau agar SKPD tidak menghiraukan penawaran oknum. Tolak saja, harus punya keberanian,” pintanya. Terpisah, salah seorang anggota DPR RI asal Fraksi PKB, H Yanuar Prihatin MSi yang kebetulan reses di Kuningan turut membahas isu penarifan harga produk regulasi. Hanya saja, dirinya berbicara dalam sekup nasional, bukan hanya Raperda. “Nggak ada yang seperti itu, apalagi di Komisi II DPR RI. Saya kira ini sangat kasuistik dan individual. Jika terjadi prak­tek seperti itu, harus diproses dan ditindak. Itu kan pe­langgaran,” ujar salah seo­rang anggota Komisi II DPR RI tersebut. (ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: