Revisi UU Pilkada Banjir Kecaman

Revisi UU Pilkada Banjir Kecaman

KPU Pastikan Tidak Ada Perubahan PKPU JAKARTA - Langkah DPR untuk mengintervensi KPU lewat revisi terbatas UU Pilkada menuai kecaman. DPR dinilai memaksakan kehendak dan menabrak aturan-aturan yang sudah ada demi mengurusi konflik internal partai tertentu. KPU pun menegaskan tidak akan menggubris upaya paksa DPR kecuali sudah berbentuk UU. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan telah ditetapkan dan dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diundangkan. “Kami berpandangan tidak perlu ada yang diubah,” ujar Hadar di sela peringatan HUT Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat di KPU, kemarin (5/5). Apa pun bentuk rapat dengan DPR yang membahas PKPU, menurut Hadar, adalah konsultasi. Pihaknya bisa menerima rekomendasi, namun bisa juga menolak. Apabila ada rekomendasi yang diyakini KPU tidak tepat berdasar UU, pihaknya punya kemandirian untuk tidak mengikutinya. Komisioner asal Padang, Sum­bar, itu menuturkan, revisi UU Pilka­da tidak bisa dibarengkan dengan revisi PKPU. “Kecuali sudah diundangkan, kami akan hormati, kami ikuti UU. Siapa pun tidak boleh menen­tang UU,” ucapnya. Namun, apabila belum ada peru­bahan, pengaturan yang pas menu­rut KPU adalah yang sudah ditetapkan dalam rapat pleno. Sementara itu, kecaman terhadap upaya DPR menginter­vensi KPU datang dari kalangan peneliti politik. Direktur Indonesia Parliamentary Center Sulastio mengatakan, DPR harus bisa membedakan dasar hukum setiap rapat bersama KPU. Jika agenda rapat kerja dengan KPU adalah membahas program, yang berlaku adalah UU MD3. Di situ DPR bisa meminta KPU mengikuti rekomendasi. “Kalau yang dibahas adalah pembuatan aturan, namanya konsultasi dan dasarnya adalah UU Penyelenggara Pemilu,” ujarnya. Dalam hal konsultasi, KPU tidak bisa dipaksa untuk mengikuti kehendak DPR. Dia mengingatkan, tahun ini program legislasi nasional telah ditetapkan sebanyak 37 UU. Khusus untuk komisi II, mereka punya jatah empat UU. Yakni, UU Pemda, Pilkada, Pertanahan, dan Perimbangan Keuangan. “UU Pilkada dan Pemda sudah selesai dan mereka masih punya utang dua UU yang harus disusun,” tuturnya. Tentu tidak etis apabila komisi II membahas UU baru di luar prolegnas, sementara tugas pokoknya belum diselesaikan. Selain itu, ada mekanisme yang harus ditempuh jika DPR hendak merevisi UU. Tidak asal dibuat. Harus ada perencanaan yang cukup dan keterlibatan pemerintah dalam revisi UU meski hanya satu pasal. Dalam hal ini, presiden bisa bertindak sebagai negarawan dengan tidak menyetujui pembahasan revisi oleh DPR. Misalnya, dengan tidak mengirimkan menteri terkait, yakni Menkum HAM dan Mendagri untuk ikut dalam pembahasan revisi tersebut. Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai revisi UU tersebut akan berdampak fatal bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. “Konsekuensinya, makin tidak ada kepastian hukum,” ujarnya. Kalau ingin mengacu pada putusan terakhir sebagaimana yang ingin dinormakan dalam UU, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Dalam hal Golkar misalnya, putusan terakhir saat ini adalah menangguhkan pelaksanaan SK Menkum HAM. “Kalau itu diikuti, tidak ada kubu yang bisa mendaftar,” ucapnya. Sebab, pelaksanaan SK tersebut hanya ditunda, bukan dibatalkan. Sebagaimana diberitakan, DPR berencana merevisi UU Pilkada dan parpol secara terbatas. DPR akan memasuk­kan opsi-opsi yang sebelumnya gagal direkomendasikan untuk masuk ke dalam PKPU mengenai dualisme kepengurusan parpol karena tidak punya dasar hukum. Salah satunya menggunakan putusan pengadilan terakhir sebelum masa pendaftaran calon kepala daerah dimulai. Meski, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap karena masih bisa diajukan kasasi. (byu/bay/c7/fat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: