Ada Istilah Uang Lelah
Boy: Polisi dan Kejaksaan Harus Dilibatkan KUNINGAN – Isu dugaan penarifan harga Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) rupanya menjadi perhatian serius salah seorang mantan wakil rakyat, Momon C Sutresna. Politisi Demokrat tersebut menyebutkan, dulu tidak ada istilah penarifan harga Raperda. Kalau pun ada, hanya sebatas uang lelah alakadarnya. Mantan wakil rakyat yang duduk di parlemen daerah dua periode tersebut memberikan dukungan atas upaya pengusutan isu dugaan itu. Sebab, Baperda yang dulu beristilah Balegda bertugas mengkaji apakah Raperda tersebut layak untuk dibahas di tingkat selanjutnya atau tidak. “Nah, berkaitan dengan tarif Raperda, dari dulu tidak ada, dan saya baru dengar sekarang. Kalaupun ada, hanya sebatas uang lelah alakadarnya. Walaupun saya 10 tahun di dewan tidak pernah menjadi anggota Banleg, Insya Allah sekarang juga kalau ada hanya sebatas uang lelah dari setiap dinas,” ungkapnya, kemarin (7/5). Dia yakin tidak akan ada yang merasa keberatan karena kondisi tiap dinas itu berbeda. Namun jika ditarif per Raperda, dipastikan olehnya, dinas merasa keberatan. Sebab terkadang, satu dinas itu bisa mengajukan dua atau tiga Raperda sekaligus. “Pasti keberatan pisan (banget, red) kalau ditarif per Raperda. Belum lagi nanti kalau lolos dari Banleg masuk lagi pembahasan di panitia khusus (Pansus), pasti dinas tersebut mengeluarkan uang lelah untuk Pansus. Uang lelah sih dari dulu juga, dinas suka memperhatikan, tapi bukan per Raperda. Mereka memberi semampunya, tidak pernah ada paksaan. Mau ngasih ya sok, tidak pun tidak apa-apa,” tuturnya. Yang jelas, lanjut Momon, pembahasan Raperda tetap berjalan sesuai jadwal. Jika sekarang ditarif di Banleg setiap Raperda, dia memastikan Pansus pun akan ikut-ikutan pasang tarif. Menurutnya, celaka kalau seperti itu, mengingat, Raperda itu ujung pembahasannya di Pansus. Apakah bisa jadi Perda atau tidak, pansus yang akan menyampaikan hasil pembahasan di Paripurna pengambilan keputusan. “Itu pengalaman dulu, baik ketika saya jadi anggota ataupun jadi ketua Pansus. Kata siapa itu tidak pernah ada? Saya katakan hanya bersifat alakadarnya. Kalau toh ada dinas yang ngasih agak besar, mungkin dinas itu berpikir karena permasalahannya banyak memerlukan waktu pembahasan cukup lama,” terang Momon. Namun dia menyebutkan, sangat jarang dinas atau badan memberikan uang lelah yang besar. Hampir semuanya dalam batas yang wajar. Jika dirinya mengatakan tidak ada uang lelah, dipastikan tidak ada yang percaya. “Biasa lah, uang lelah sih karena setiap dinas juga lebih paham dan lebih mengerti hubungan baik kemitraan,” tukasnya. Terpisah, Direktur Merah Putih Institut, Boy Sandi Kartanegara kurang sependapat jika persoalan dugaan jual-beli Raperda diserahkan pada BK (Badan Kehormatan). “Sangat lucu jika untuk mempertegas dan memperjelas persoalan dugaan jual-beli Raperda diserahkan pada BK yang isinya anggota-anggota dewan juga,” tandasnya. Berkaca pada UU Tipikor, sambung dia, seharusnya persoalan itu sudah masuk ranah penyalahgunaan wewenang atau jabatan penyelenggara negara. Ini berarti, aparat penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan yang bekerja menelusurinya. “Persoalannya, apakah dugaan itu masuk dalam kategori penyuapan? Kalau iya, siapa eksekutif yang siap jadi martir untuk membeberkan kejadiannya. Lain halnya kalau masuk pada tindak pidana pemerasan. Saya pikir, isu-isu seperti ini dianalogikan sama dengan kentut, ada baunya tapi sulit memegangnya,” ujar Boy. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: