Warga Ciremai Ancam Tutup BTNGC

Warga Ciremai Ancam Tutup BTNGC

    KUNINGAN – Efek dari kebijakan perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional sewaktu masih dipimpin Bupati H Aang Hamid Suganda, rupanya baru dirasakan saat ini. Masyarakat lereng Gunung Ciremai kini mulai beramai-ramai menyuarakan penolakan atas keberadaan TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai). Seperti yang terlihat kemarin (26/5) di gedung DPRD, ratusan masyarakat gabungan dari sejumlah desa di lereng Ciremai berunjuk rasa. Mereka mengibarkan bendera Gempur (Gerakan Massa Pejuang Untuk Rakyat). Tampak spanduk dan poster dibentangkan yang berisi kecaman terhadap TNGC. Mereka menyamakan TNGC dengan penjajah yang telah merampas hak bercocok tanam masyarakat. “Usir TNGC, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Kembalikan lahan pertanian kami,” teriak korlap aksi, Sukadi dalam orasinya selaras dengan bunyi poster yang dibentangkan. Selama ini, warga lereng Ciremai merasa dirugikan atas keberadaan TNGC. Mereka tidak bisa lagi bercocok tanam, bahkan untuk mengambil ranting di kawasan TNGC pun terancam kurungan penjara. Saat babi hutan dan monyet memasuki pemukiman warga, mereka tidak berbuat apa-apa lantaran ditakut-takuti pidana. “Untuk membunuh babi hutan dan monyet pun masyarakat diancam kurungan penjara, padahal hewan-hewan tersebut keluar dari kawasan TNGC dan memasuki pemukiman warga,” tandas Sukadi. Atas kebijakan yang dianggap menyengsarakan rakyat, para pengunjuk rasa mengancam akan menutup akses menuju kawasan TNGC. Puluhan desa di lereng Ciremai bakal kompak dalam menutup akses tersebut sehingga petugas TNGC harus menaiki helikopter apabila hendak ke TNGC. “Bagaimana, setuju?” teriak Sukadi disambut gemuruh suara siap dari ratusan pengunjuk rasa dari berbagai desa tersebut. Sementara, Koordinator Gempur, Okki Satrio menandaskan, penetapan Ciremai dari status hutan lindung menjadi TNGC lewat SK Menhut RI No 424/Menhut-II/2004 19 Oktober 2004 dilakukan secara sepihak. Bahkan dilanjutkan dengan zonasi sepihak tanpa melibatkan persetujuan masyarakat setempat dalam penentuan batas zonasi yang berlokasi di wilayah kegiatan ekonomi dan budaya masyarakat. “Hingga tahun 2002, pengelolaan hutan di sekitar Ciremai adalah wilayah percontohan terbaik untuk program Perhutani PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat). Bahkan wilayah Ciremai menjadi contoh untuk model idealnya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di pulau Jawa. Tapi sejak 2004 akses masyarakat terhadap Ciremai menjadi tertutup dan berakibat pada penurunan kehidupan ekonomi masyarakat desa-desa yang berada di pinggir hutan Ciremai,” paparnya. Dikatakan, akibat pemberlakuan TNGC peran Kuningan sebagai wilayah penyangga kebutuhan wilayah lain seperti Cirebon, Indramayu dan Brebes menjadi berkurang. Ini karena terampasnya tata kelola rakyat terhadap Ciremai akibat diberlakukan TNGC. Dia mencontohkan, masyarakat tidak lagi mempunyai akses terhadap hutan sebagai sumber peningkatan kehidupannya. “Kuningan yang dulu wilayah pemasok kebutuhan sayuran, saat ini malah menjadi pembeli sayur. Hal ini mengakibatkan meningkatnya jumlah petani yang menganggur. Hal itu meningkatkan besaran Potential Economic Lost (hilangnya putaran ekonomi di masyarakat) antara rantai ekonomi dari petani sayur, pedadang dan para pengepul hasil pertanian. Dan hasil akhirnya, semakin miskinnya petani di wilayah lereng Ciremai,” bebernya. Kedua, lanjut Okki, rusaknya ekosistem di wilayah Ciremai yang ditandai dengan banyaknya serbuan babi hutan, monyet dan anjing hutan ke wilayah pertanian masyarakat. Ratusan babi hutan merusak tanaman dari Desa Gunung Sirah hingga Sagara Hyang dan meluas ke wilayah Sukamukti serta Sangkanherang, Sayana, Linggasana, Seda, bahkan ke Pasawahan dan sekitarnya. “Di satu sisi masyarakat didenda Rp5 miliar jika mengambil kayu bakar kering dan menangkap binatang di wilayah TNGC, namun pihak TNGC tidak mampu mencegah binatang-binatang hutannya merusaki lahan pertanian dan wilayah hunian masyarakat,” tandasnya. TNGC, imbuh dia, menutup wilayahnya dari keterlibatan rakyat meski masyarakat desa telah ada sebelum Indonesia merdeka. Yang ironis, justru TNGC membuka pintu selebar-lebarnya untuk perusahaan Jepang di Desa Trijaya dan Karangsari. Selain itu, dalam zonasi TNGC terdapat peruntukkan zonasi khusus untuk pengusahaan geothermal ketimbang rakyat bertani meningkatkan kesejahteraannya. “Jadi semakin jelas bahwa pihak TNGC mengarahkan kepentingannya lebih untuk melayani perusahaan asing, persis seperti dahulu para penguasa daerah menghamba kepada Kompeni Belanda (perusahaan VOC Belanda),” tegas Okki. Untuk itu, Gempur mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menuntut pengukuhan kawasan kehutanan Ciremai sebagai hutan lindung yang memperluas tata kelola rakyat pada lingkungan dan sumber daya kehidupannya. Ini sebagaimana Mandat Tenurial Reform Lombok. Selain itu, pihaknya mengajak untuk menolak penetapan zonasi TNGC yang sepihak dan tanpa melibatkan masyarakat secara musyawarah. Sehingga kebijakan tersebut melawan UU 41 tentang kehutanan dan UU penetapan zonasi Taman Nasional. “Sehingga DPRD harus membuat tim adhoc yang harus secepatnya untuk menyiapkan materi dan dialog dengan Menhut dan LH di Jakarta. Sembari menununggu hasil perundingan tim adhoc, jaringan rakyat dan desa-desa yang tergabung dalam Gempur akan melaksanakan hasil putusan sidang rakyat yang telah disepakati di DPRD,” ucapnya. (ded)        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: