Soal Perda Ingin Satu Pemahaman
Pertanyakan Surat dari Pemprov, DPRD Undang Bagian Hukum dan Pemerintahan SUMBER – Menanggapi surat dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait klarifikasi peraturan daerah (perda), DPRD Kabupaten Cirebon mengundang Bagian Hukum dan Pemerintahan Setda Kabupaten Cirebon, kemarin (9/6). Pertemuan itu guna mendengarkan pandangan eksekutif atas poin-poin yang terdapat dalam Perda No 2 Tahun 2015 tentang Pemerintah Desa dan BPD. Sebab, dalam surat tersebut, Pemprov Jawa Barat memberikan argumentasi bahwa Perda No 2 Tahun 2015 tentang Pemerintah Desa dan BPD ada beberapa pasal yang bertentangan dengan PP No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, sehingga harus diubah dan dihapus. Ketua DPRD Kabupaten Cirebon H Mustofa SH mengatakan, bahwa pertemuan ini bertujuan ingin mengetahui pemikiran Bagian Hukum Setda Kabupaten Cirebon mengenai hirarki tata perundang-undangan, maupun isi perda ini, sampai-sampai keluar surat klarifikasi kepada bupati terkait perda ini. “Kita ingin satu pemahaman saat memberikan klarifikasi kepada provinsi,” ujarnya. Lebih jauh, pihaknya meyakini pihak Pemprov Jawa Barat tidak mungkin mengetahui secara detail tentang kondisi politik dan sosiologis di wilayah Kabupaten Cirebon. “Makanya, kita akan sampaikan ke provinsi dalam menetapkan perda No 2/2015 tentang Pemdes dan BPD karena melihat kondisi politik dan sosiologi masyarakat,” imbuhnya. Mustofa mempertanyakan, sisi mana pertentangan perda ini dengan aturan yang ada di atasnya. Misalnya, pada pasal 62 perda yang mengatur kualifikasi domisili penjabat kuwu PNS dalam melaksanakan tugas dan wewenang dianggap bertentangan pasal 58 PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa, karena UU dan PP tidak mengatur kualifikasi domisili. Artinya, yang mendasari hal-hal yang tidak mengatur secara eksplisit menjadi dasar kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi sosiologi daerah, supaya kebijakan yang keluar dalam setiap keputusan itu meminimalisir konflik atau hal-hal yang menyebabkan ketidakkondusifan. “Kemarin, muncul istilah penjabat kuwu droping dari kecamatan-kecamatan. Nah, dengan adanya perda ini ke depan tidak terulang, sehingga kita perlu mengatur sebuah regulasi yang mengakomodir terhadap SDM yang ada di desa, kita mengatur secara berjenjang, penjabat kuwu harus dari wilayah setempat, jika tidak ada dari wilayah kecamatan setempat, kalaupun tidak ada dari wilayah Kabupaten Cirebon,” ucapnya. Tidak hanya pasal 62 saja. Pasal 64 yang mengatur pengecualian penjabat kuwu dalam melaksanakan tugas, wewenangan dan kewajiban serta perolehan hak yang diamatkan agar dihapus, karena dianggap bertentangan dengan pasal 58 PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 6/2015 tentang Desa. Padahal, jika ditelaah lebih dalam penegasan yang sama itu adalah haknya. Tugas utama penjabat desa itu mengantarkan proses pemilihan kuwu definitif. Sebenarnya, seorang penjabat kuwu enak, karena tidak melakukan upaya politik layaknya kuwu definitif untuk memimpin desa, hanya bermodalkan surat penunjukkan. Tapi, karena tugasnya sama, maka haknya pun sama. “Nah, karena penjabat kuwu itu hanya menghantarkan pemilihan kuwu definitif, maka harus dibatasi agar terjadi kondusivitas, kalau kuwu definitif silahkan boleh mengganti perangkat desa. Tapi, penjabat kuwu hanya mensinergikan sumber daya yang ada,” bebernya. Sementara, Ketua Baperda DPRD Kabupaten Cirebon Supirman SH menjelaskan bahwa akan tetap mempertahankan isi dari Perda No 2/2015 tentang Pemerintah Desa dan BPD, karena sudah sangat berpihak pada kepentingan masyarakat Kabupaten Cirebon. Sebenarnya, DPRD tidak membatasi kewenangan eskekutif, tapi hanya sekedar memberikan rambu-rambu. Misalnya, dalam persoalan pengangkatan penjabat kuwu PNS harus berdomisili di desa tersebut, guna menghindari pertentangan di masyarakat. “Sebenarnya, kita tidak banyak melanggar atau frontal undang-undang yang ada diatasnya, sehingga muncul kejanggalan,” jelasnya. Justru, perda yang dibuat oleh Kabupaten Cirebon membantu pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa di tingkat desa, malah ditolak atau diminta untuk memberikan klarifikasi. Tentu saja, hal ini menimbulkan pertanyaan. Kejanggalan ini antara lain, surat yang menjadi landasan diterbitkan surat dari Provinsi Jawa Barat, bukanlah surat yang dikeluarkan oleh Bagian Hukum Setda Kabupaten Cirebon, karena bagian hukum mengeluarkan surat tertanggal 13 Mei 2015 yang isinya mengajukan 3 perda untuk dievaluasi. Tapi, Gubernur membalas surat tertanggal 18 Mei 2015. “Surat mana yang sebenarnya menjadi landasan. Makanya, dalam pertemuan ini kita selaraskan,” tandasnya. (jun)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: